Senin, 26 Oktober 2020

PATOLOGI SOSIAL TEMA : TINGKAH LAKU SOSIOPATIK

TINGKAH LAKU SOSIOPATIK

`

    Pendekatan tentang Tingkah Laku Sosiopatik 


Menurut sosiolog tingkah laku sosiopatik adalah tingkah laku yang berbeda dan menyimpang dari kebiasaan serta norma umum, yang ada pada suatu tempat dan waktu tertentu yang ditolak sekalipun tingkah laku tersebut di tempat dan waktu lain bisa diterima oleh masyarakat lainnya.   Arti sosiopatik ialah menjadi sakit secara sosial, adapun terjadinya sebabnya bahwa satu lingkungan dengan kultur yang tidak menguntungkan bisa memberikan banyak rangsangan kepada individu – individu tertentu untuk menjadi sakit secara sosial.

Menurut Paul B Horton perilaku sosiopatik memiliki ciri-ciri sebagai berikut.

·         Penyimpangan harus dapat didefinisikan, artinya penilaian menyimpang tidaknya suatu perilaku harus berdasar kriteria tertentu dan diketahui penyebabnya. Penyimpangan bisa diterima bisa juga ditolak.  Penyimpangan relatif dan penyimpangan mutlak, artinya perbedaannya ditentukan oleh frekuensi dan kadar penyimpangan.

·         Penyimpangan terhadap budaya nyata ataukah budaya ideal, artinya budaya ideal adalah segenap peraturan hukum yang berlaku dalam suatu kelompok masyarakat. Antara budaya nyata dengan budaya ideal selalu terjadi kesenjangan. Terdapat norma-norma penghindaran dalam penyimpangan. Norma penghindaran adalah pola perbuatan yang dilakukan orang untuk memenuhi keinginan mereka, tanpa harus menentang nilai-nilai tata kelakuan secara terbuka.

·         Penyimpangan sosial bersifat adaptif, artinya perilaku menyimpang merupakan salah satu cara untuk menyesuaikan kebudayaan dengan perubahan sosial.

Adapun sebab-sebab terjadinya perilaku menyimpang adalah sebagai berikut :

a.       Penyimpangan sebagai akibat dari proses sosialisasi yang tidak sempurna

Karena ketidaksanggupan menyerap norma-norma kebudayaan ke dalam kepribadiannya, seorang individu tidak mampu membedakan perilaku yang pantas dan yang tidak pantas. Ini terjadi karena seseorang menjalani proses sosialisasi yang tidak sempurna dimana agen-agen sosialisasi tidak mampu menjalankan peran dan fungsinya dengan baik.

Contohnya seseorang yang berasal dari keluarga broken home dan kedua orang tuanya tidak dapat mendidik si anak secara sempurna sehinga ia tidak mengetahui hak-hak dan kewajibanya sebagai anggota keluarga maupun sebagai anggota masyarakat. Perilaku yang terlihat dari anak tersebut misalnya tidak mengenal disiplin, sopan santun, ketaatan dan lain-lain.

b.      Penyimpangan karena hasil proses sosialisasi subkebudayaan menyimpang

Subkebudayaan adalah suatu kebudayaan khusus yang normanya bertentangan dengan norma-norma budaya yang dominan. Unsur budaya menyimpang meliputi perilaku dan nilai-nilai yang dimiliki oleh anggota-anggota kelompok yang bertentangan dengan tata tertib masyarakat. Contoh kelompok menyimpang diantaranya kelompok penjudi, pemakai narkoba, geng penjahat, dan lain-lain.

a.       Penyimpangan sebagai hasil proses belajar yang menyimpang

Proses belajar ini melalui interaksi sosial dengan orang lain, khususnya dengan orang-orang berperilaku menyimpang yang sudah berpengalaman. Penyimpangan inipun dapat belajar dari proses belajar seseorang melalui media baik buku, majalah, koran, televisi dan sebagainya.

Biasanya tingkah laku sosiopatik itu akan mendapat reaksi dari masyarakat berupa :[1]

o   Hukuman

o   Penolakan

o   Pemisahan

o   Pengucilan

 

I.     Korupsi Sebagai Tindakan Sosiopatik

Secara pandangan umum korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.

Mohammad Hatta mengatakan bahwa korupsi adalah masalah budaya, artinya bahwa korupsi di Indonesia tidak mungkin diberantas kalau masyarakat secara keseluruhan tidak bertekad untuk memberantasnya.

Korupsi dalam pandangan politik pada umumnya korupsi dimasukkan orang sebagai masalah politik karena menyangkut penyalahgunaan (misuse) kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi. Pemerintah telah merumuskan UU Anti Korupsi yang terdiri dari empat unsur penting, yaitu unsur penyalahgunaan wewenang, unsur memperkaya diri sendiri atau korporasi, unsur merugikan keuangan negara dan unsur pelanggaran hukum.

Selain faktor di atas banyak lagi aspek psikologis yang menyebabkan seseorang untuk melakukan korupsi, personality yang tidak sehat, tidak mandiri, lokus of control terhadap prilaku yang rendah, ketidak matangan emotional, proses berfikir jangka pendek, pengaruh kelompok sosial, gaya hidup yang hedonism dan lain sebagainya mendorong seseorang untuk berprilaku menyimpang dan menghalakan segala cara.

Negara Indonesia adalah negara yang termasuk memiliki suber daya alam yang kaya, tetapi karena pemerintahannya tidak dapat mengelolanya dengan system manajement yang baik sehingga keuntungan dari kekayan itu hanya sedikit yang dapat dinikmati oleh rakyat. Pemerintah justeru memperbanyak hutang untuk pembanggunan dan mencukupi pemasukan negara sehingga rakyat pun terlilit dalam kemiskinan permanen. Kemiskinan yang berkepanjangan menumpulkan kecerdasan dan kreatifitas bahkan menimbulkan sikap-sikap hopless putus asa sehingga banyak yang mencari jalan pintas untuk mengatasi ersoalanya dengan perilaku menyimpang dan menghalalkan segala cara, mencuri, merampok, berjudi masuk terjerembap dalam kurungan keyakinan mistik, fatalism dan lain-lain.

Kepercayaan terhadap pentingnya nilai-nilai prestasi, kerja keras, kejujuran, dan keterampilan, kecerdasan semakin memudar karena kenyataan yang ditemui dalam kehidupan masyarakat menunjukkan yang sebaliknya, banyak mereka yang kerja keras, jujur dan pandai, tetapi tetap saja miskin dan menjadi orang pinggiran hanya karena mereka datang dari kelompok keluarga yang tak beruntung, seperti para petani, kaum buruh, pedangan kecil dan pegawai rendahan. Sementara itu, banyak yang mendapatkan kekayaan dengan mudah aman walau tidak jujur, kerja santai, tidak kreatif karena mereka datang dari kelompok elite atau berhubungan dekat dengan para pejabat, penguasa, dan para tokoh masyarakat.

Akibatnya, muncul keyakinan pada masyarakat bahwa tidak perlu jujur, karena orang jujur tidak akan mujur, tidak perlu pandai karena yang dibutuhkan berpandai-pandai, tidak perlu kerja keras karena dengan jalan korupsi kolusi dan nepotisme, meyuap, menjilat lancar semua urusan. Kepercayaan terhadap pentingnya kecerdasan intelektual pun menurun karena hanya dipakai para elite untuk membodohi masyarakat saja. Pengaruh media dan gaya hidup yang materialistis berlebihan sebaliknya, menjadikan masyarakat menjadi lebih percaya adanya peruntungan hingga menempuh jalan-jalan instan yang berbahaya, budaya memanipulasi dan budaya permisif terhadap penyimpangan sehingga perdukunan, perjudian, kejahatan dan perilaku menyimpang lainnya dalam berbagai bentuk semakin marak di mana-mana.

Disamping itu persoalan penegakan hukum yang tidak tegas, pandang bulu, tebang pilih makin menjadi reinforcement penguatan perilaku menyimpang tersebut karena masyarakat menilai hukuman bagi para koruptor itu sangatlah ringan. Mencuri miliaran sampai dengan triliunan hanya dihukum beberapa tahun saja, bahkan banyak kasus besar yang merugikan negara hingga triliunan dan hingga kini masih tidak jelas penyelesaiannya, ataupun sangat sedikit koruptornya yang telah disidang atau dipenjara. Akhirnya masyarakat merasa bahwa tetap menguntungkan menjadi pejabat korup walaupun tertangkap karena hukumannya beberapa tahun saja, seterusnya dia dapat hidup nyaman karena dipenjara juga bias hidup enak dengan fasilitas yang elit, dan akan mendapatkan remisi pada setiap hari besar agama dan kenegaraan, apa lagi kalau tidak terbukti di persidangan atau malah tidak ketauan maka beruntunglah orang-orang seperti itu.

Dalam tinjauan Psikologi, seorang pemimpin dan pejabat yang menghalalkan segala cara, dan menumpuk kekayaan untuk kepentingan pribadi dan kelompok (Keluarga, suku, klan, Partai) nya, adalah termasuk kedalam kategori orang yang sakit secara mental. Banyak pemimpin yang abnormal pembawa bibit penyakit mental, seperti sikap tidak jujur, korup, tidak pernah puas dengan kekayaan, mereka bahkan menularkan penyakit sosial ini kebawahan dan bahkan ke lingkungan sekitarnya. Pemimpin-pemimpin yang sakit secara sosial itu adalah cerminan dari masyarakat yang tengah sakit pula. Karena mereka hadir dan muncul serta dipilih oleh masyarakat yang sangat pragmatis dan bahkan oportunis.

Akhirnya sikap-sikap seperti di atas yang memperparah korupsi sebagai patologi sosial, pemahaman masyarakat tentang korupsipun akhirnya ikut terdistorsi. dari awalnya masyarakat menganggap perilaku korupsi itu sebagai patologi sosial, suatu penyimpangan, penyakit masyarakat.

II.  Reaksi Sosial terhadap Perlaku Sosiopatik

Reaksi sosial terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan (penjahat) seperti yang telah Kita pahami bahwa kejahatan adalah suatu perbuatan yang merugikan masyarakat sehingga terhadapnya diberikan reaksi yang negatif. Kita juga telah pahami bahwa reaksi terhadap kejahatan dan penjahat, dipandang dari segi pelaksanaannya. dilihat dari segi pencapaian tujuannya dapat dibagi menjadi dua yakni; Reaksi Represif dan Reaksi Preventif. Karena berbeda tujuannya maka secara operasionalnya pun akan berbeda, khususnya dari metode pelaksanaan dan sifat pelaksanaannya.

a.       Reaksi represif

Secara singkat pengertian reaksi atau tindak represif adalah tindakan yang dilakukan oleh masyarakat (formal) yang ditujukan untuk menyelesaikan kasus atau peristiwa kejahatan yang telah terjadi, guna memulihkan situasi dengan pertimbangan rasa keadilan dan kebenaran yang dijunjung tinggi.

Contoh kasus; tema (pembobolan )

b.      Reaksi preventif

Yang dimaksud dengan reaksi atau tindak preventif adalah tindak pencegahan agar kejahatan tidak terjadi. Artinya segala tindak-tindak pengamanan dari ancaman kejahatan adalah prioritas dari reaksi preventif ini. Menyadari pengalaman-pengalaman waktu lalu bahwa kejahatan adalah suatu perbuatan yang sangat merugikan masyarakat maka anggota masyarakat berupaya untuk mencegah agar perbuatan tersebut tidak dapat terjadi.

Selain reaksi represif dan reaksi preventif ada juga reaksi formal dan reaksi informal,[2]

1)      Reaksi Formal

Reaksi formal terhadap kejahatan adalah reaksi yang diberikan kepada pelaku kejahatan atas perbuatannya, yakni melanggar hukum pidana, oleh pihak-pihak yang diberi wewenang atau kekuatan hukum untuk melakukan reaksi tersebut.

Sebagai suatu sistem pengendali kejahatan maka secara rinci, tujuan sistem peradilan pidana, dengan demikian adalah;[3]

 (1) mencegah agar masyarakat tidak menjadi korban kejahatan,

 (2) menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana, serta

 (3) mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi kejahatannya.

Contoh kasus; tema (efek jera shaming/malu untuk para koruptor)

Usul Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang didukung organisasi masyarakat sipil salah satunya, Indonesian Corruption Watch (ICW) untuk mengenakan simbol-simbol berupa pakaian khusus bagi tersangka pelaku korupsi. Hal ini semakin menarik ketika ICW secara khusus mengusulkan sejumlah rancangan pakaian khusus bagi koruptor tersebut.

Sulit untuk melihat bahwa shaming dalam bentuk "pakaian khusus koruptor" masuk dalam reintegrative shaming. Tujuannya lebih pada membuat malu itu sendiri dan sebagian berpendapat untuk membuat jera. Perlu dipahami bahwa keinginan untuk membuat malu dan jera lebih melihat pada aspek kesalahan dari pelaku atau tidak melihat pada sejauh mana shaming bermanfaat untuk memulihan konflik.

Namun, hal ini tidak sekaligus berarti reaksi yang diberikan justru melanggar hak-hak dari para pelaku koruptor. Terlebih lagi bila para koruptor yang dimaksud masih berstatus sebagai tersangka. Sederhananya, reaksi tetap harus melindungi hak tersangka untuk diduga tidak bersalah. Bila ini kembali dilihat dengan filosofi pemasyarakatan jelas tidak mendukung semangat memberikan reaksi formal yang manusiawi dan melindungi HAM.

Ketiga pertimbangan ini perlu diperhatikan dengan baik bila tujuan akhir dari setiap reaksi formal terhadap kejahatan adalah "meluruskan" kesalahan pelaku dan membuatnya diterima kembali di masyarakat. Ide "pakaian khusus koruptor" dalam hal ini masih terlalu jauh dari bermanfaat bagi upaya memerangi korupsi di negeri ini.

Hal yang jauh lebih penting dalam menimbulkan penjeraan ini adalah kepastian bahwa proses hukum berjalan bagi siapapun yang melakukan korupsi dan kepastian bahwa hakim akan memberikan hukuman yang mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.

Satu penjelasan teoritik tentang peran membuat malu pada pelaku kejahatan untuk tujuan mengintegrasikan kembali dirinya dengan masyarakat. Penjelasan teoritik tersebut disebut Reintegrative Shaming. Pelaku kejahatan cukup dibuat malu namun ditujukan untuk membuat dirinya dan masyarakat sadar atas kesalahan yang telah dilakukan. Dalam konteks tipologi kejahatan, memang tidak semua jenis kejahatan dapat dipulihkan dengan cara ini.

Berkebalikan dengan reintegrative shaming, ada pula upaya membuat malu yang tidak ditujukan untuk reintegrasi pelaku, yaitu stigmatisasi. Dalam hal ini pelaku kejahatan cukup hanya dibuat malu dan lebih jauh dari itu juga menciptakan "rasa sakit" secara psikologis. Stigmatisasi secara simbolik juga memperlihatkan penolakan masyarakat bagi pelaku kejahatan.

2)      Reaksi Informal

Reaksi informal yang dilakukan bukan oleh aparat penegak hukum tetapi oleh warga masyarakat biasa. Masyarakat biasa di samping telah mendelegasikan haknya kepada aparat penegak hukum berhak saja bereaksi terhadap kejahatan dan penjahat sebatas mereka tidak melanggar peraturan yang ada.

Dalam kriminologi, reaksi informal dari masyarakat itu lebih dikenal sebagai tindak kontrol sosial informal. Studi-studi memperlakukan beberapa aspek dari kontrol sosial informal pada tingkat komunitas ketetanggaan yang digunakan untuk membangun tipologi dari definisi operasional dari kontrol sosial informal. Definisi operasional ditemui dalam dua dimensi yaitu; bentuk dan tempat.

Para biolog juga menmpilkan minatnya terhadap gejala patologi social, yaitu menyatakan adanya penyimpangan-penyimpangan patologis atau kelas-kelas defektif dalam masyarakat. Bentuk-bentuk tingkah laku yang menyimpang secara social dan sangat ditilak oleh umum, seperti homoseksual, alkoholisme kronis, dan gangguan-gangguan mental tertentu itu menurut teori biologi disebabkan oleh peristiwa-peristiwa sebagai berikut:

1.      Melalui gen atau plasma pembawa sifat di dalam keturunan atau melalui kombinasi dari gen-gen, ataupun disebabkan oleh tidak adanya gen tertentu.

2.      Melalui pewarisan tipe-tipe kecenderungan yang luar biasa/ abnormal

3.      Melalui pewarisan kelemahan konstitusional tertentu yang mengakibatkan tingkah laku sosiopatik. Pandangan psikologis dan psikiatri menekankan sebab-sebab tingkah laku patologis dari aspek social-psikologis, sehingga orang melanggar norma social yang ada. Faktor-faktor yang memepengaruhi diantaranya: intelegensi, ciri-ciri kepribadian, motivasi, sikap hidup yang keliru, dan internalisasi diri yang salah, dan konflik emosional dan kecenderungan psikopatologis yang ada di balik tingkah laku menyimpang secara social.

Selanjutnya para sosiolog berpendapat bahwa perilaku sosiopatis diakrenakan factor kultural dan social yang sangat mempengaruhi struktur organisasi social, peranan, status individu, partisipasi social.

 

B.     Postulat/ Dalil mengenai Penyimpangan Tingkah Laku Sosiopatik

 

1.      Tingkah laku sosiopatik mempunyai ciri khusus dan dianggap sosiopatik pada waktu tertentu dan tempat tertentu.

2.      Penyimpangan tingkah laku adalah produk dari konflik social dan konflik internal/ pribadi yang ditampakkan keluar dalam bentuk penerimaan samapi penolakan. Penolakan sangat bergabtung dari derajat penyimpangan tingkah laku.

3.      Orang mengadakan larangan dan pembatasan terhadap kebebasan berpartisipasinya para penyimpang. Larangan tersebut tergantung pada status, peran, pendefinisian diri, dan penampakkan yang jelas dari tingkah laku mereka.

 

C.    Pengertian Sosiopatik

Istilah psikopat yang sejak 1952 diganti dengan Sosiopat dan dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) II 1968 resmi dinamakan Sosiopat. Hare menyamakannya dengan salah satu kelainan, yaitu Anti Social Personality Disorder (Hare, Hart & Harpur, 1991). Istilah psikopat yang sudah sangat dikenal masyarakat justru tidak ditemukan dalam DSM IV.Artinya, psikopat tidak tercantum dalam daftar penyakit, gangguan atau kelainan jiwa di lingkungan ahli kedokteran jiwa Amerika Serikat.Psikopat dalam kedokteran jiwa masuk dalam klasifikasi gangguan kepribadian dissosial. Psikopat tak sama dengan Skizofrenia karena seorang psikopat sadar sepenuhnya atas perbuatannya. Pengidap psikopat juga sering disebut sebagai sosiopat karena prilakunya yang antisosial dan merugikan orang-orang terdekatnya.

Psikopat – Psycho atau Sosiopatik = Anti Sosial. Psikopat adalah seseorang yang dapat memutarbalikan/ menyembunyikan fakta, alibi dan tidak mempunyai rasa bersalah/ malu atau penyesalan sama sekali atas suatu perilaku merugikan yang dilakukan oleh dirinya, terkesan cerdik, smart (pintar), pandai mengelak, manipulatif dan jago berargumentasi melalui artikulasi berbahasa saat melakukan suatu kejahatan yang sempurna dalam bentuk penubunuhan fisik atau psikologis. Dr. Hare melaporkan bahwa 1% dari penduduk dunia adalah psikopat dan seperempatnya melakukan bunuh diri.Seorang psikopat dikatakan mengalami suatu gangguan kepribadian anti sosial, dimana mereka tidak mempunyai emosional insight tetapi memiliki intelektual insight.Pola asuh yang salah pada masa kanak sering berkontribusi pada kejadian anti sosial pada waktu dewasa.

Menurut kaum sosiolog tingkah laku sosiopatik adalah tingkah laku yang berbeda dan menyimpang dari kebiasaan serta norma umum, yang ada pada suatu tempat dan waktu tertentu yang ditolak sekalipun tingkah laku tersebut di tempat dan waktu lain bisa diterima oleh masyarakat lainnya.

Sosiopatik atau dapat pula disebut psikopatik adalah tingkah laku yang menyimpang dari norma masyarakat dimana pelakunya bukanlah pengidap penyakit mental dan tidak mempedulikan keadaan sekitar (anti sosial).

 

D.    Ciri-ciri Perilaku Sosiopatik (Psikopatik)

1.      Hare mengungkapkan empat ciri karakter, yakni antisosial (antisocial), pribadi yang sulit diduga (borderlne), pandai bersandiwara (histrionic) dan egois (narcisstic).

a)      Seseorang yang antisosial biasanya cuek pada norma-norma sosial, tak peduli pada aturan, dan pemberontak. Kepribadiannya yang sulit ditebak (borderlne), bisa terlihat dari ketidakstabilannya dalam hubungan interpersonal, citra diri, serta selalu bertindak menuruti kata hati. Tanpa peduli perbuatannya itu salah atau benar, mengganggu orang atau tidak.

b)      Orang seperti ini cenderung impulsif (melakukan sesuatu tanpa pikir panjang), dan berpikiran negatif. Ia juga memiliki sifat pendendam. Sedikit saja Anda melakukan kesalahan, seumur hidup diingat dan suatu saat akan diungkit lagi. Sedangkan pribadi histrionic, emosinya tak terkendali alias meledak-ledak, dan selalu ingin menarik perhatian.

c)      Kepribadian narcisstic, yang ditunjukkan dengan sikapnya yang selalu ingin dikagumi, serta minimnya empati. Ia selalu berusaha membuat hanya dirinya satu-satunya lelaki dalam hidup Anda. Hanya dialah yang boleh Anda puja.

2.      Tidak pernah merasa menyesal, meski telah menyakiti orang lain. Bila ketahuan bersalah, wajahnya akan tetap seperti tak berdosa.

3.      Sepintas, gelagat mereka tidak kelihatan seperti orang yang punya kelainan. Pasalnya, secara tampak mata mereka terlihat menarik, pintar dan berlaku seperti orang normal lainnya.

4.      Sering berbohong, fasih dan dangkal. Psikopat seringkali pandai melucu dan pintar bicara, secara khas berusaha tampil dengan pengetahuan di bidang sosiologi, psikiatri, kedokteran, psikologi, filsafat, puisi, sastra, dan lain-lain. Seringkali pandai mengarang cerita yang membuatnya positif, dan bila ketahuan berbohong mereka tak peduli dan akan menutupinya dengan mengarang kebohongan lainnya dan mengolahnya seakan-akan itu fakta.

5.       Senang melakukan pelanggaran dan bermasalah perilaku di masa kecil.Kurang empati. Bagi psikopat memotong kepala ayam dan memotong kepala orang, tidak ada bedanya.

6.      Psikopat juga teguh dalam bertindak agresif, menantang nyali dan perkelahian, jam tidur larut dan sering keluar rumah.

7.      Impulsif dan sulit mengendalikan diri. Untuk psikopat tidak ada waktu untuk menimbang baik-buruknya tindakan yang akan mereka lakukan dan mereka tidak peduli pada apa yang telah diperbuatnya atau memikirkan tentang masa depan. Pengidap juga mudah terpicu amarahnya akan hal-hal kecil, mudah bereaksi terhadap kekecewaan, kegagalan, kritik, dan mudah menyerang orang hanya karena hal sepele.

8.      Tidak mampu bertanggung jawab dan melakukan hal-hal demi kesenangan belaka.

9.      Manipulatif dan curang. Psikopat juga sering menunjukkan emosi dramatis walaupun sebenarnya mereka tidak sungguh-sungguh.Mereka juga tidak memiliki respon fisiologis yang secara normal diasosiasikan dengan rasa takut seperti tangan berkeringat, jantung berdebar, mulut kering, tegang, gemetar. Bagi psikopat hal ini tidak berlaku karena itu psikopat seringkali disebut dengan istilah "dingin".

10.  Hidup sebagai parasit karena memanfaatkan orang lain untuk kesenangan dan kepuasan dirinya.

 

E.     Jenis-jenis Psikopat/Sosiopat

Menurut Hervey Checkley dalam bukunya The Mask of Sanity(1941), ada empat jenis psikopat:

1)      Primary Psychopath yang bergeming pada hukuman, penahanan, tekanan, atau celaan. Mereka punya cara sendiri untuk memaknai kata dan kehidupan.

2)      Secondary Psychopath adalah pengambil resiko, dan juga lebih tanggap terhadap tekanan, mudah cemas dan merasa bersalah.

3)      Distempered Psychopath, cenderung mudah marah dan bila kumat, tingkah mereka mirip penderita epilepsi (ayan), cenderung jadi pecandu obat, kleptomania, pedofilia, bahkan bisa jadi pembunuh dan pemerkosa berantai.

4)      Charismatic Psychopath adalah si pembohong yang menarik dan menawan, selalu dianugerahi bakat tertentu, tapi memanfaatkannya untuk memperdaya yang lain. Pemimpin agama sekte tertentu yang mendorong pengikutnya bunuh diri bisa jadi contoh.


 

F.     Mobilitas pada Individu-individu Sosiopatik

 

Pada umumnya, individu-individu dan kelompok-kelompok yang menyimpang itu sangat mobile sifatnya.Pribadi-pribadi dengan mobilitas vertikal dan mobilitas spasial/ruang yang rendah, sangat dibatasi ruang geraknya oleh para anggota kelompok/lingkungan lainnya.Mereka memilki afinitas atau daya-kait yang tinggi dengan anggota-anggota kelompok sendiri.Sebaliknya, orang-orang yang merasa ditolak oleh lingkungannya, tidak mempunyai tempat dan tidak bisa menyesuaikan diri dengan anggota-anggota kelompoknya, pasti punya kecenderungan kuat untuk keluar dari daerah tempat tinggalnya.Dan besar keinginannya untuk bermigrasi ke dalam masyarakat dengan struktur organisasi yang berbeda.Tidak jarang mereka itu berpindah-pindah tempat tinggal untuk memperluas komunikasi dan habitat atau tempat tinggal.Jadi, ruang gerak mereka menjadi lebih luas dan longgar.

 

Para penjahat itu pada umumnya merupakan individu dengan mobilitas tinggi.Namun, pada hakikatnya mereka itu terisolisasi dari bagian terbesar masyarakat normal.Biasanya mereka terpaksa meninggalkan pola hidup kawin/berkeluarga.Sebab, resiko ditangkap dan dimasukkan dalam penjara besar sekali.Setiap saat mereka bisa berurusan dan baku-tembak dengan polisi.Maka pemuasan dorongan seksual terpaksa disalurkan melalui relasi dengan wanita-wanita tuna-susila atau dengan wanita-wanita “piaraan” yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi.Hubungan mereka dengan anggota-anggota masyarakat normal sangat terbatas dan tidak akrab.Mereka bahkan diamati dengan rasa curiga, baik oleh para anggota masyarakat pada umumnya, maupun oleh penjahat-penjahat lokal lainnya, oleh polisi dan penguasa setempat.

 

Individu yang dianggap sebagai pesona non grata-pribadi yang tidak diterima, tidak mendapatkan pengampunan-oleh tingkah lakunya yang menyimpang, praktis akan dikucilkan atau dikeluarkan sama sekali dari semua partisipasi sosial oleh masyarakat, dan secara geografis tidak banyak berkomunikasi dengan daerah luar. Khususnya individu yang dianggap berbahaya oleh kepala suku (clan, kampung, kelompok), akan ditolak sama sekali bahkan diusir dari daerah tersebut. Maka tekanan-tekanan sosial yang sentripental-keluar dari tokoh pemimpin yang dianggap sebagai kekuatan suku-mempunyai daya memaksa yang kuat sekali.

 

 

G.    Factor Penyebab

 

Factor utama yang menyebabkan orang bertindak sosiopat memang belum jelas hingga kini.Tapi hipotesis yang diajukan Hare menduga psikopat terjadi akibat kelainan fungsi otak.Ini didasarkan pengalaman Hare saat memeriksa seorang pasien psikopat berusia 46 tahun bernama Al. Pada otak Al terbukti ditemukan kelainan.Al tidak dapat memisahkan stimulus yang bersifat rasional dari yang emosional.Semua stimulus diolah sekaligus oleh belahan otak kiri (pusat rasio) dan otak kanan (pusat emosi).Karena itu, menurut Hare, seorang psikopat tidak sekadar berbohong atau hipokrit, tapi juga ada sesuatu yang lebih serius, yakni ada kelainan di otaknya. Dugaan adanya faktor biologis ini juga muncul dalam laporan Pridmore, Chambers dan McArthur pada 2005.Mereka melaporkan adanya hubungan antara gejala psikopat dengan kelainan sistem serotonin, kelainan struktural, dan kelainan fungsional pada otak. Temuan lain disampaikan pula oleh Litman setahun sebelumnya. Ia menyebutkan, penderita psikopat mengalami kelainan neurologik pada sindrom erotic violence. Pada 2003, Raine juga mengungkapkan ada kelainan Corpus collosum pada sosok psikopat.

Faktor lain penyebab psikopat diutarakan Kirkman (2002). Ia menyatakan, pengidap kepribadian psikopat memiliki latar belakang masa kecil yang tak memberi peluang untuk perkembangan emosinya secara optimal. Anak-anak salah asuh ini akan tumbuh menjadi orang-orang yang tak bisa berempati dan tak memiliki kata hati (consceince).

Faktor genetik dan lingkungan juga berperan besar melahirkan karakter psikopat.Stres atau tekanan hidup yang besar bisa pula merubah perilaku seseorang menjadi brutal.Namun bila sifatnya sementara, karena ada pemicu yang masuk akal, maka tidak bisa dikatakan psikopat.Ciri psikopat sebenarnya bisa dideteksi sejak kanak-kanak melalui berbagai perilaku yang tidak biasa.Perilaku antisosial pada anak-anak ternyata merupakan warisan genetik.Penelitian terhadap anak-anak kembar menunjukkan, anak menunjukkan kecenderungan psikopatik dini.Penelitian tersebut dilakukan terhadap 3.687 pasang anak kembar berusia tujuh tahun.

Faktor lingkungan fisik dan sosial yang beresiko berkembangnya seorang psikopat menjadi kriminal adalah tekanan ekonomi yang buruk, perlakuan kasar dan keras sejak usia anak, penelantaran anak, perceraian orang tua, kesibukan orangtua, faktor pemberian nutrisi tertentu, dan kehidupan keluarga yang tidak mematuhi etika hukum, agama dan sosial. Lingkungan yang beresiko lainnya adalah hidup ditengah masyarakat yang dekat dengan perbuatan criminal seperti pembunuhan, penyiksaan, kekerasan dan lain sebagainya.


DAFTAR  PUSTAKA

Davidson C.G; Neale.J; Kring A.M..2004.Psikologi Abnormal. Alih Bahasa Noermalasari Fajar. Jakarta: Raja Grafindo.

Djamaludi Ancok, 2004. Psikologi terapan, (mengupas dinamika kehidupan umat manusia) Yogyakarta, Darussalam

Kartini Kartono. 1997. Patologi sosial 1 (edisi Baru) Jakarta Rajawali Perss.

Kompas. 2011. Korupsi Itu Mencuri dari Si Miskin diakses 3 September 2011 dari http:// http://www.kompas.com

Mudjiran, 2002, Patologi Sosial Jilid 1 Padang FIP IKIP Padang

Nevid J.S; Rathus S.A; Greene B.. 2003. Psikologi Abnormal. Alih Bahasa Tim Fakultas Psikologi UI. Jakarta: Erlangga

Siswanto, 2007. Kesehatan mental ( konsep, cakupan dan perkembangannya) Andi Yogyakarta

 



[2] Kompas. 2011. Korupsi Itu Mencuri dari Si Miskin diakses 3 September 2011 dari http:// http://www.kompas.com

[3] Lihat Mudjiran, 2002, Patologi Sosial Jilid 1 Padang FIP IKIP Padang

Senin, 05 Oktober 2020

SEJARAH PATOLOGI SOSIAL





SEJARAH PATOLOGI SOSIAL

PENGERTIAN PATOLOGI SOSIAL

LATAR BELAKANG PATOLOGI SOSIAL

SEJARAH PATOLOGI SOSIAL

 

di bawakan oleh : Erine Nur Maulidya, S.Sos.,M.Pd



Pendahuluan

Patologi Sosial sebagai ilmu pengetahuan dan menjadi mata kuliah wajib bagi prodi sosiologi Agama UIN Raden Intan Lampung Mata kuliah ini membekali mahasiswa tentang pengertian, latar belakang Patologi Sosial, Teori-Teori Patologi Sosial, bentuk-bentuk patologi sosial. Melalui kuliah ini mahasiswa diharapkan memiliki pengetahuan yang  memadai tentang gejala sosial dengan memahami patologi sosial, diharapkan lulusan memiliki ketrampilan memecahkan masalah penyakit masyarakat secara konseptual, dan memiliki sikap peduli terhadap masalah yang berkembang dalam masyarakat sehingga memberikan konstribusi yang signifikan untuk menjadi peneliti, ilmuan sosial, sosiolog, bidang penyuluhan yang profesional dan lainnya. Perkuliahan meliputi tatap muka, tugas terstruktur, tugas mandiri, serta ujian.
 

A. Pengertian Patologi Sosial

Pada awal ke-19 dan awal abad 20-an, para sosilog mendefinisikan patologi social sebagai semua tingkah laku yang bertentangan dengan norma kebaikan, stabilitas local, pola kesederhanaan, moral, hak milik, solidaritas kekeluargaan, hidup rukun bertetangga, disiplin, kebaikan, dan hokum formal. Secara etimologis, kata patologi berasal dari kata Pathos yang berarti disease/penderitaan/penyakit dan Logos yang berarti berbicara tentang/ilmu. Jadi, patologi adalah ilmu yang membicarakan tentang penyakit atau ilmu tentang penyakit.[1] Madsud dari pengertian diatas bahwa patologi adalah ilmu yang membicarakan tentang asal usul dan sifat-sifatnya penyakit. Konsep ini bermula dari pengertian penyakit di bidang ilmu kedokteran dan biologi yang kemudian diberlakukan pula untuk masyarakat karena menurut penulis google bahwa masyarakat itu tidak ada bedanya dengan organisme atau biologi sehingga dalam masyarakatpun dikenal dengan konsep penyakit. Sedangkan kata sosial adalah tempat atau wadah pergaulan hidup antar manusia yang perwujudannya berupa kelompok manusia atau organisasi yakni individu atau manusia yang berinteraksi / berhubungan secara timbal balik bukan manusia atau manusia dalam arti fisik. Tetapi, dalam arti yang lebih luas yaitu comunity atau masyarakat. Maka pengertian dari patologi social adalah ilmu tentang gejala-gejala sosial yang dianggap sakit disebabkan oleh faktor-faktor sosial atau Ilmu tentang asal usul dan sifat-sifatnya, penyakit yang berhubungan dengan hakekat adanya mnusia dalam hidup masyarakat. Sementara itu menurut teri anomi bahwa patologi sosial adalah suatu gejala dimana tidak ada persesuaian antara berbagai unsur dari suatu keseluruhan, sehingga dapat membahayakan kehidupan kelompok, atau yang sangat merintangi pemuasan keinginan fundamental dari anggota anggotanya, akibatnya pengikatan social patah sama sekali. ( Koe soe khiam. 1963 ).

 

B. Sejarah dan latar belakang Patologi Sosial

Manusia sebagai makhluk yang cenderung selalu ingin memenuhi kebutuhan hidupnya telah menghasilkan teknologi yang berkembang sangat pesat sehingga melahirkan masyarakat modern yang serba kompleks, sebagai produk dari kemajuan teknologi, mekanisasi, industrialisasi, dan urbanisasi, dll.[2] Hal ini disamping mampu memberikan berbagai alternative kemudahan bagi kehidupan manusia juga dapat menimbulkan hal-hal yang berakibat negatif kepada manusia dan kemanusiaan itu sendiri yang biasa disebut masalah sosial. Adanya revolusi industri Menunjukan betapa cepatnya perkembangan ilmu-ilmu alam dan eksakta yang tidak seimbang dengan berkembangnya ilmu-ilmu sosial telah menimbulkan berbagai kesulitan yang nyaris dapat menghancurkan umat manusia. Misalnya, Pemkaian mesin-mesin industri di pabrik-pabrik, mengubah cara bekerja manusia yang dulu memakai banyak tenaga manusia sekarang diperkecil, terjadinya pemecatan buruh sehingga pengangguran meningkat (terutama tenaga kerja yang tidak terampil), dengan timbulnya kota-kota industri cenderung melahirkan terjadinya urbanisasi besar-besaran. Penduduk desa yang tidak terampil dibidang industri mengalir ke kota-kota industri, jumlah pengangguran di kota semakin besar, adanya kecenderungan pengusaha lebih menyukai tenaga kerja wanita dan anak-anak (lebih murah dan lebih rendah upahnya). Pada akhirnya, keadaan ini semakin menambah banyaknya masalah kemasyarakatan (social problem) terutama pada buruh rendah yang berkaitan dengan kebutuhan sandang pangannya seperti, perumahan, pendidikan, perlindungan hokum, kesejahteraan social, dll. Kesulitan mengadakan adaptasi dan adjustment menyebabkan kebingungan, kecemasan, dan konflik-konflik. Baik yang bersifat internal dalam batinnya sendiri maupun bersifat terbuka atau eksternalnya sehingga manusia cenderung banyak melakukan pola tingkah laku yang menyimpang dari pola yang umum dan melkuikan sesuatu apapun demukepentingannya sendiri bahkan cenderung dapat merugikan orang lain.

 

Sejarah mencatat bahwa orang menyebut suatu peristiwa sebagai penyakit social murni dengan ukuran moralistic. Sehiongga apa yang dinamakan dengan kemiskinan, pelacuran, alkoholisme, perjudian, dsb adalah sebagai gejala penyuakit social yang harus segera dihilangkan dimuka bumi. Kemudian pada awal abad 19-an sampai awal abad 20-an, para sosiolog mendefinisikan yang sedikit berbeda antara patologi social dan masalah social[3].

 

Masalahnya adalah kapan kita berhak menyebutkan peristiwa itu sebagai gejala patologis atau sebagai masalah social? Menurut kartini dalam bukunya patologi social menyatakan bahwa orang yang dianggap kompeten dalam menilai tingkah laku orang lain adalah pejabat, politisi, pengacara, hakim, polisi, dokter, rohaniawan, dan kaum ilmuan dibidang social. Sekalipun adakalanya mereka membuat kekeliruan dalam membuat analisis dan penilaian tehadap gejala social, tetapi pada umumnya mereka dianggap mempunyai peranan menentukan dalam memastikan baik buruknya pola tingkah laku masyarakat. Mereka juga berhak menunjuk aspek-aspek kehidupan social yang harus atau perlu diubah dan diperbaiki.

 

Ada orang yang berpendapat bahwa pertmbangan nilai (value, judgement, mengenai baik dan buruk) sebenarnya bertentangan dengan ilmu pengetahuan yang objektif sebab penilaian itu sifatnya sangat subjektif. Larena itu, ilmu pengetahuan murni harus meninggalkan generalisasi-generalisasi etis dan penilaian etis (susila, baik dan buruk). Sebaliknya kelompok lain berpendapat bahwa dalam kehidupan sehari-hari, manusia dan kaum ilmuan tidak mungkin tidak menggunakan pertimbnagan nilai sebab opini mereka selalu saja merupakan keputusan yang dimuati dengan penilaian-penilaian tertentu.

 

Untuk menjawab dua pendirian yang kontroversial tersebut, kita dapat meninjau kembali masalah ini secara mendalam dari beberapa point yang disebutkan oleh Kartini Kartono dalam bukunya yang berjuduk Patologi social, sebagai berikut:

 

ilmu pongetahuan itu sendiri selalu mengandung nilai-nilai tertentu. Hal ini dikarenakan ilmu pengetahuan menyangkut masalah mempertanyakan dan memecahkan lesulitan hidup secara sistematis selalu dengan jalan menggunakan metode dan teknik-teknik yang berguna dan bernilai. Disebut bernilai karena dapat memenuhi kebutuhan manusiawi yang universal ini, baik yang individual maupun social sifatnya, selalu diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang bernilai.

ada keyakinan etis pada diri manusia bahwa penggunaan teknologi dan ilmu pengetahuan modern untuk menguasai alam (kosmos,jagad) sangatlah diperlukan demi kesejahteraan dan pemuasan kebutuhan hidup pada umumnya. Jadi ilmu pengetahuan dengan sendirinya memiliki system nilai. Lagi pula kaum ilmuan selalu saja memilih dan mengembangkan usaha/aktivitas yang menyangkut kepentingan orang banyak. jadi memilih masalah dan usaha yang mempunyai nilai praktis.

falsafah yuang demokratis sebagaimana tercantum dalam pancasila menyatakan bahwa baik individu maupun kelompok dalam masyarakat Indonesia, pasti mampu memformulasikan serta menentukan system nilai masing-masing dan sanggup menentukan tujuan serta sasaran yang bernilai bagi hidupnya.

Seperti apa yang dikatakan george lundberg salah seoreang tokoh sosiolog yang dianggap dominan terhadap aliran neo-positivisme dalam sosiologi menyatakan bahwa ilmu peneteahuan itu bersifat otoriter, karena itu ilmu pengetahuan mengandung dan harus memilki moralitas ilmiah atau hokum moral yang conform dan seimbang dengan hokum alam. Dan diperkuat oleh C.C. North, seorang sosiolog lain dalam bukunya Soial Problems and Social Planning, menyatakan bahwa dalam usaha pencapaian tujuan dan sasaran hidup yang bernilai bagi satu kebudayaan atau satu masyarakat, harus disertakan etik social guna menentukan cara pencapaian sasaran tadi. Jadi, cara atau metode pencapaian itu secara etis-susila harus bisa dipertanggungjawabkan[4] sebab manusia normal dibekali alam dengan budidaya dan hati nurani sehingga ia dianggap mampu menilai baik dan buruknya setiap peristiwa.

 

Adapun Istilah / konsep lain untuk patologi social adalah, Masalah social, disorganisasi sosial / social disorganization / disintegrasi social, sosial maladjustment, Sociopathic, Abnormal, Sociatri.

 

Tingkah laku sosiopatik jika diselidiki melalui pendekatan (approach), sebagai berikut:

 

1) Approach Biologis

Pendekatan biologis tentang tingkahlaku sosiopatik dalam biologi biasanya terfokus pada bagian genetik.

Patologi itu menurun melalui gen / plasma pembawa sifat di dalam keturunan, kombinasi dari gen-gen atau tidak adanya gen-gen tersebut

Ada pewaris umum melalui keturenan yang menunjukkan tendesi untuk berkembang kearah pathologis (tipe kecenderungan yang luaar biasa abnormal)

Melaui pewarisan dalam bentuk konstitusi yang lemah, yang akan berkembang kearah tingkahlaku sosiopatik.

Bentuk tingkahlaku yang menyimpang secara sosial yang disebabkan oleh ketiga hal tersebut diatas dan ditolak oleh umum seperti: homoseksualitas, alkoholistik, gangguan mental, dll.

 

2) Approach Psychologist dan Psychiatris

 

a) Pendekatan Psikologis

Menerangkan tingkahlaku sosiopatik berdasarkan teori intelegensi, sehingga individu melanggar norma-norma sosial yang ada antara lain karena faktor-faktor: intelegensi, sifat-sifat kepribadian, proses berfikir, motivasi, sifat hidup yang keliru, internalisasi yang salah.

 

b) Pendekatan Psychiatris

Berdasarkan teori konflik emosional dan kecenderungan psikopatologi yang ada di balik tingkahlaku menyimpang

 

c) Approach Sosiologis

Penyebab tingkahlaku sosiopatik adalah murni sosiologis yaitu tingkahlaku yang berbeda dan menyimpang dari kebiasaan suatu norma umum yang pada suatu tempat dan waktu tertentu sangat ditentang atau menimbulkan akibat reaksi sosial tidak setuju. Reaksi dari masyarakat antara lain berupa, hukuman, segregrasi (pengucilan / pengasingan), pengucilan, Contoh: mafia (komunitas mafia dengan perilaku pengedar narkoba)

 

Menurut St. Yembiarto (1981) bahwa studi patologi social memilki fase-fase tersendiri[5]. Adapun perkembangan patologi sosial ada melalui tiga fase,

 

Fase masalah sosial (social problem)

Pada fase ini menjadi penyelidikan patisos action masalah-masalah sosial seperti pengangguran, pelacuran, kejahatan, masalah penduduk, dst

 

Fase disorganisasi sosial

Pada fase ini menjadi objek penyelidikan peksos adalah disorganisasi sosial, fase ini merupakan koreksi dan perkembangan dan fase masalah sosial

 

Fase sistematik

Fase ini merupakan perkembangan dari dua fase sebelumnya. Pada fase ini patsos berkembang menjadi ilmu pengetahuan yang memiliki sistem yang bulat.

 

Penutup

I.        Skema Perkuliahan Semester ganjil Tahun 2020

TM

Kompetensi Dasar

Materi

Kegiatan Pembelajaran

 

1

Memahami Orientasi Mata Kuliah

1.      Silabus

2.      Kontrak kuliah

3.      Pengantar Materi

 

Tanya jawab
VC ZOOM/ Google Meet

 

 

2-3

Memahami konsep patologi sosial dan faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya penyakit

sosial

1.      Pengertian konsep patologi sosial, masalah-masalah sosial, penyakit sosial, deviasi, deferensiasi sosial

2.      Faktor-faktor penyebab patologi sosial

 

 

GoogleClass

 

 

4-5

 

Menganalisis perspektif patologi sosial menurut para ahli

 

1.      Teori Patologi Sosial

2.      Individu Sosiopatik

3.      Teori interaksionis

4.      Teori cultural lag

 

 

Google Class / Tugas

 

6

 

Menganalisis masalah sosial dan disorganisasi sosial

1.    Pendekatan terhadap tingkah laku Sosiopatik

2.    Faktor-faktor penyebab disorganisasi sosial

Google Class/ Tugas

 

7

Menganalisis aspek tingkah laku yang menyimpang

1.      Deviasi individual

2.      Deviasi situasional

3.      Deviasi sistematik

Google Class dan Google Meet/ Zoom

UJIAN TENGAH SEMESTER / Suport Google Foam

 

 

 

9

 

Menganalisis bentuk- bentuk patologi sosial yang terjadi di Indonesia

Korupsi

1.    Definisi dan gejala-gejala korupsi

2.    Korupsi dan Modernisasi

3.    Praktik-praktik korupsi di Indonesia

4.    Penanggulangan Korupsi

 

 

 

Diskusi Google Class/ Rivew Studi Kasus

 

 

 

10

 

Menganalisis bentuk- bentuk patologi sosial yang terjadi di Indonesia

Kriminalitas

1.        Definisi Kejahatan

2.        Manusia, kriminalitas dan kriminologi

3.        Fungsi dan disfungsi kejahatan

4.        Penanggulangan tindak kriminal

 

 

 

Diskusi

Google Class/ Tugas Analisis

 

11-12

Menganalisis bentuk- bentuk patologi sosial yang terjadi di Indonesia

Kenakalan Remaja, Prostitusi, Narkoba

1. Definisi kenakalan remaja, prostitusi

 

Diskusi

Google Class/ Tugas Analisis


 

 

 

2.   Faktor-faktor penyebab

3.   Jenis kenakalan remaja, prostitusi

4.   Penanggulangan kenakalan remaja, prostitusi, narkoba

 

 

 

 

13-14

 

 

Menganalisis bentuk- bentuk patologi sosial yang terjadi di Indonesia

Mental Disorder

1.    Definisi Mental Disorder

2.    Masyarakat Modern dan Mental Disorder

3.    Teori Mental Disorder

4.    Faktor-faktor penyebab Mental Disorder

5.    Penanggulangan Mental Disorder

 

 

 

Google Class/

Diskusi

15

Refleksi Perkuliahan

 

Zoom/ Google Meet/Google Class

16

UJIAN AKHIR SEMESTER Suport Google Class

 

II.     Komponen Penilaian

No

Komponen Penilaian

Bobot (%)

1

Kehadiran, sikap, perilaku

10

2

Tugas, diskusi

20

3

Ujian tengah semester

30

4

Ujian akhir semester

40

Jumlah

100

 

 

 Refrensi :

                                                          

[1] http://psynetpreneur.blogspot.com/2008/08/patologi-sosial.html

[2] Kartini Kartono, Patologi social, PT. RajaGrafindo Persada:Jakarta, 2005. hal.V

[3] Lihat hal.2, Kartini Kartono, Patologi social

[4] Kartini Kartono, Patologi social, PT. RajaGrafindo Persada:Jakarta, 2005. hal.4

 

 

Mukaddimah Ilmu Sosial

PERKEMBANGAN DAN RUANG LINGKUP SOSIOLOGI

Sosiologi merupakan ilmu yang muncul jauh setelah kehadiran ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Meskipun pertanyaan mengenai perubahan d...

Postingan Populer