Senin, 26 Oktober 2020

PATOLOGI SOSIAL TEMA : TINGKAH LAKU SOSIOPATIK

TINGKAH LAKU SOSIOPATIK

`

    Pendekatan tentang Tingkah Laku Sosiopatik 


Menurut sosiolog tingkah laku sosiopatik adalah tingkah laku yang berbeda dan menyimpang dari kebiasaan serta norma umum, yang ada pada suatu tempat dan waktu tertentu yang ditolak sekalipun tingkah laku tersebut di tempat dan waktu lain bisa diterima oleh masyarakat lainnya.   Arti sosiopatik ialah menjadi sakit secara sosial, adapun terjadinya sebabnya bahwa satu lingkungan dengan kultur yang tidak menguntungkan bisa memberikan banyak rangsangan kepada individu – individu tertentu untuk menjadi sakit secara sosial.

Menurut Paul B Horton perilaku sosiopatik memiliki ciri-ciri sebagai berikut.

·         Penyimpangan harus dapat didefinisikan, artinya penilaian menyimpang tidaknya suatu perilaku harus berdasar kriteria tertentu dan diketahui penyebabnya. Penyimpangan bisa diterima bisa juga ditolak.  Penyimpangan relatif dan penyimpangan mutlak, artinya perbedaannya ditentukan oleh frekuensi dan kadar penyimpangan.

·         Penyimpangan terhadap budaya nyata ataukah budaya ideal, artinya budaya ideal adalah segenap peraturan hukum yang berlaku dalam suatu kelompok masyarakat. Antara budaya nyata dengan budaya ideal selalu terjadi kesenjangan. Terdapat norma-norma penghindaran dalam penyimpangan. Norma penghindaran adalah pola perbuatan yang dilakukan orang untuk memenuhi keinginan mereka, tanpa harus menentang nilai-nilai tata kelakuan secara terbuka.

·         Penyimpangan sosial bersifat adaptif, artinya perilaku menyimpang merupakan salah satu cara untuk menyesuaikan kebudayaan dengan perubahan sosial.

Adapun sebab-sebab terjadinya perilaku menyimpang adalah sebagai berikut :

a.       Penyimpangan sebagai akibat dari proses sosialisasi yang tidak sempurna

Karena ketidaksanggupan menyerap norma-norma kebudayaan ke dalam kepribadiannya, seorang individu tidak mampu membedakan perilaku yang pantas dan yang tidak pantas. Ini terjadi karena seseorang menjalani proses sosialisasi yang tidak sempurna dimana agen-agen sosialisasi tidak mampu menjalankan peran dan fungsinya dengan baik.

Contohnya seseorang yang berasal dari keluarga broken home dan kedua orang tuanya tidak dapat mendidik si anak secara sempurna sehinga ia tidak mengetahui hak-hak dan kewajibanya sebagai anggota keluarga maupun sebagai anggota masyarakat. Perilaku yang terlihat dari anak tersebut misalnya tidak mengenal disiplin, sopan santun, ketaatan dan lain-lain.

b.      Penyimpangan karena hasil proses sosialisasi subkebudayaan menyimpang

Subkebudayaan adalah suatu kebudayaan khusus yang normanya bertentangan dengan norma-norma budaya yang dominan. Unsur budaya menyimpang meliputi perilaku dan nilai-nilai yang dimiliki oleh anggota-anggota kelompok yang bertentangan dengan tata tertib masyarakat. Contoh kelompok menyimpang diantaranya kelompok penjudi, pemakai narkoba, geng penjahat, dan lain-lain.

a.       Penyimpangan sebagai hasil proses belajar yang menyimpang

Proses belajar ini melalui interaksi sosial dengan orang lain, khususnya dengan orang-orang berperilaku menyimpang yang sudah berpengalaman. Penyimpangan inipun dapat belajar dari proses belajar seseorang melalui media baik buku, majalah, koran, televisi dan sebagainya.

Biasanya tingkah laku sosiopatik itu akan mendapat reaksi dari masyarakat berupa :[1]

o   Hukuman

o   Penolakan

o   Pemisahan

o   Pengucilan

 

I.     Korupsi Sebagai Tindakan Sosiopatik

Secara pandangan umum korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.

Mohammad Hatta mengatakan bahwa korupsi adalah masalah budaya, artinya bahwa korupsi di Indonesia tidak mungkin diberantas kalau masyarakat secara keseluruhan tidak bertekad untuk memberantasnya.

Korupsi dalam pandangan politik pada umumnya korupsi dimasukkan orang sebagai masalah politik karena menyangkut penyalahgunaan (misuse) kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi. Pemerintah telah merumuskan UU Anti Korupsi yang terdiri dari empat unsur penting, yaitu unsur penyalahgunaan wewenang, unsur memperkaya diri sendiri atau korporasi, unsur merugikan keuangan negara dan unsur pelanggaran hukum.

Selain faktor di atas banyak lagi aspek psikologis yang menyebabkan seseorang untuk melakukan korupsi, personality yang tidak sehat, tidak mandiri, lokus of control terhadap prilaku yang rendah, ketidak matangan emotional, proses berfikir jangka pendek, pengaruh kelompok sosial, gaya hidup yang hedonism dan lain sebagainya mendorong seseorang untuk berprilaku menyimpang dan menghalakan segala cara.

Negara Indonesia adalah negara yang termasuk memiliki suber daya alam yang kaya, tetapi karena pemerintahannya tidak dapat mengelolanya dengan system manajement yang baik sehingga keuntungan dari kekayan itu hanya sedikit yang dapat dinikmati oleh rakyat. Pemerintah justeru memperbanyak hutang untuk pembanggunan dan mencukupi pemasukan negara sehingga rakyat pun terlilit dalam kemiskinan permanen. Kemiskinan yang berkepanjangan menumpulkan kecerdasan dan kreatifitas bahkan menimbulkan sikap-sikap hopless putus asa sehingga banyak yang mencari jalan pintas untuk mengatasi ersoalanya dengan perilaku menyimpang dan menghalalkan segala cara, mencuri, merampok, berjudi masuk terjerembap dalam kurungan keyakinan mistik, fatalism dan lain-lain.

Kepercayaan terhadap pentingnya nilai-nilai prestasi, kerja keras, kejujuran, dan keterampilan, kecerdasan semakin memudar karena kenyataan yang ditemui dalam kehidupan masyarakat menunjukkan yang sebaliknya, banyak mereka yang kerja keras, jujur dan pandai, tetapi tetap saja miskin dan menjadi orang pinggiran hanya karena mereka datang dari kelompok keluarga yang tak beruntung, seperti para petani, kaum buruh, pedangan kecil dan pegawai rendahan. Sementara itu, banyak yang mendapatkan kekayaan dengan mudah aman walau tidak jujur, kerja santai, tidak kreatif karena mereka datang dari kelompok elite atau berhubungan dekat dengan para pejabat, penguasa, dan para tokoh masyarakat.

Akibatnya, muncul keyakinan pada masyarakat bahwa tidak perlu jujur, karena orang jujur tidak akan mujur, tidak perlu pandai karena yang dibutuhkan berpandai-pandai, tidak perlu kerja keras karena dengan jalan korupsi kolusi dan nepotisme, meyuap, menjilat lancar semua urusan. Kepercayaan terhadap pentingnya kecerdasan intelektual pun menurun karena hanya dipakai para elite untuk membodohi masyarakat saja. Pengaruh media dan gaya hidup yang materialistis berlebihan sebaliknya, menjadikan masyarakat menjadi lebih percaya adanya peruntungan hingga menempuh jalan-jalan instan yang berbahaya, budaya memanipulasi dan budaya permisif terhadap penyimpangan sehingga perdukunan, perjudian, kejahatan dan perilaku menyimpang lainnya dalam berbagai bentuk semakin marak di mana-mana.

Disamping itu persoalan penegakan hukum yang tidak tegas, pandang bulu, tebang pilih makin menjadi reinforcement penguatan perilaku menyimpang tersebut karena masyarakat menilai hukuman bagi para koruptor itu sangatlah ringan. Mencuri miliaran sampai dengan triliunan hanya dihukum beberapa tahun saja, bahkan banyak kasus besar yang merugikan negara hingga triliunan dan hingga kini masih tidak jelas penyelesaiannya, ataupun sangat sedikit koruptornya yang telah disidang atau dipenjara. Akhirnya masyarakat merasa bahwa tetap menguntungkan menjadi pejabat korup walaupun tertangkap karena hukumannya beberapa tahun saja, seterusnya dia dapat hidup nyaman karena dipenjara juga bias hidup enak dengan fasilitas yang elit, dan akan mendapatkan remisi pada setiap hari besar agama dan kenegaraan, apa lagi kalau tidak terbukti di persidangan atau malah tidak ketauan maka beruntunglah orang-orang seperti itu.

Dalam tinjauan Psikologi, seorang pemimpin dan pejabat yang menghalalkan segala cara, dan menumpuk kekayaan untuk kepentingan pribadi dan kelompok (Keluarga, suku, klan, Partai) nya, adalah termasuk kedalam kategori orang yang sakit secara mental. Banyak pemimpin yang abnormal pembawa bibit penyakit mental, seperti sikap tidak jujur, korup, tidak pernah puas dengan kekayaan, mereka bahkan menularkan penyakit sosial ini kebawahan dan bahkan ke lingkungan sekitarnya. Pemimpin-pemimpin yang sakit secara sosial itu adalah cerminan dari masyarakat yang tengah sakit pula. Karena mereka hadir dan muncul serta dipilih oleh masyarakat yang sangat pragmatis dan bahkan oportunis.

Akhirnya sikap-sikap seperti di atas yang memperparah korupsi sebagai patologi sosial, pemahaman masyarakat tentang korupsipun akhirnya ikut terdistorsi. dari awalnya masyarakat menganggap perilaku korupsi itu sebagai patologi sosial, suatu penyimpangan, penyakit masyarakat.

II.  Reaksi Sosial terhadap Perlaku Sosiopatik

Reaksi sosial terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan (penjahat) seperti yang telah Kita pahami bahwa kejahatan adalah suatu perbuatan yang merugikan masyarakat sehingga terhadapnya diberikan reaksi yang negatif. Kita juga telah pahami bahwa reaksi terhadap kejahatan dan penjahat, dipandang dari segi pelaksanaannya. dilihat dari segi pencapaian tujuannya dapat dibagi menjadi dua yakni; Reaksi Represif dan Reaksi Preventif. Karena berbeda tujuannya maka secara operasionalnya pun akan berbeda, khususnya dari metode pelaksanaan dan sifat pelaksanaannya.

a.       Reaksi represif

Secara singkat pengertian reaksi atau tindak represif adalah tindakan yang dilakukan oleh masyarakat (formal) yang ditujukan untuk menyelesaikan kasus atau peristiwa kejahatan yang telah terjadi, guna memulihkan situasi dengan pertimbangan rasa keadilan dan kebenaran yang dijunjung tinggi.

Contoh kasus; tema (pembobolan )

b.      Reaksi preventif

Yang dimaksud dengan reaksi atau tindak preventif adalah tindak pencegahan agar kejahatan tidak terjadi. Artinya segala tindak-tindak pengamanan dari ancaman kejahatan adalah prioritas dari reaksi preventif ini. Menyadari pengalaman-pengalaman waktu lalu bahwa kejahatan adalah suatu perbuatan yang sangat merugikan masyarakat maka anggota masyarakat berupaya untuk mencegah agar perbuatan tersebut tidak dapat terjadi.

Selain reaksi represif dan reaksi preventif ada juga reaksi formal dan reaksi informal,[2]

1)      Reaksi Formal

Reaksi formal terhadap kejahatan adalah reaksi yang diberikan kepada pelaku kejahatan atas perbuatannya, yakni melanggar hukum pidana, oleh pihak-pihak yang diberi wewenang atau kekuatan hukum untuk melakukan reaksi tersebut.

Sebagai suatu sistem pengendali kejahatan maka secara rinci, tujuan sistem peradilan pidana, dengan demikian adalah;[3]

 (1) mencegah agar masyarakat tidak menjadi korban kejahatan,

 (2) menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana, serta

 (3) mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi kejahatannya.

Contoh kasus; tema (efek jera shaming/malu untuk para koruptor)

Usul Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang didukung organisasi masyarakat sipil salah satunya, Indonesian Corruption Watch (ICW) untuk mengenakan simbol-simbol berupa pakaian khusus bagi tersangka pelaku korupsi. Hal ini semakin menarik ketika ICW secara khusus mengusulkan sejumlah rancangan pakaian khusus bagi koruptor tersebut.

Sulit untuk melihat bahwa shaming dalam bentuk "pakaian khusus koruptor" masuk dalam reintegrative shaming. Tujuannya lebih pada membuat malu itu sendiri dan sebagian berpendapat untuk membuat jera. Perlu dipahami bahwa keinginan untuk membuat malu dan jera lebih melihat pada aspek kesalahan dari pelaku atau tidak melihat pada sejauh mana shaming bermanfaat untuk memulihan konflik.

Namun, hal ini tidak sekaligus berarti reaksi yang diberikan justru melanggar hak-hak dari para pelaku koruptor. Terlebih lagi bila para koruptor yang dimaksud masih berstatus sebagai tersangka. Sederhananya, reaksi tetap harus melindungi hak tersangka untuk diduga tidak bersalah. Bila ini kembali dilihat dengan filosofi pemasyarakatan jelas tidak mendukung semangat memberikan reaksi formal yang manusiawi dan melindungi HAM.

Ketiga pertimbangan ini perlu diperhatikan dengan baik bila tujuan akhir dari setiap reaksi formal terhadap kejahatan adalah "meluruskan" kesalahan pelaku dan membuatnya diterima kembali di masyarakat. Ide "pakaian khusus koruptor" dalam hal ini masih terlalu jauh dari bermanfaat bagi upaya memerangi korupsi di negeri ini.

Hal yang jauh lebih penting dalam menimbulkan penjeraan ini adalah kepastian bahwa proses hukum berjalan bagi siapapun yang melakukan korupsi dan kepastian bahwa hakim akan memberikan hukuman yang mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.

Satu penjelasan teoritik tentang peran membuat malu pada pelaku kejahatan untuk tujuan mengintegrasikan kembali dirinya dengan masyarakat. Penjelasan teoritik tersebut disebut Reintegrative Shaming. Pelaku kejahatan cukup dibuat malu namun ditujukan untuk membuat dirinya dan masyarakat sadar atas kesalahan yang telah dilakukan. Dalam konteks tipologi kejahatan, memang tidak semua jenis kejahatan dapat dipulihkan dengan cara ini.

Berkebalikan dengan reintegrative shaming, ada pula upaya membuat malu yang tidak ditujukan untuk reintegrasi pelaku, yaitu stigmatisasi. Dalam hal ini pelaku kejahatan cukup hanya dibuat malu dan lebih jauh dari itu juga menciptakan "rasa sakit" secara psikologis. Stigmatisasi secara simbolik juga memperlihatkan penolakan masyarakat bagi pelaku kejahatan.

2)      Reaksi Informal

Reaksi informal yang dilakukan bukan oleh aparat penegak hukum tetapi oleh warga masyarakat biasa. Masyarakat biasa di samping telah mendelegasikan haknya kepada aparat penegak hukum berhak saja bereaksi terhadap kejahatan dan penjahat sebatas mereka tidak melanggar peraturan yang ada.

Dalam kriminologi, reaksi informal dari masyarakat itu lebih dikenal sebagai tindak kontrol sosial informal. Studi-studi memperlakukan beberapa aspek dari kontrol sosial informal pada tingkat komunitas ketetanggaan yang digunakan untuk membangun tipologi dari definisi operasional dari kontrol sosial informal. Definisi operasional ditemui dalam dua dimensi yaitu; bentuk dan tempat.

Para biolog juga menmpilkan minatnya terhadap gejala patologi social, yaitu menyatakan adanya penyimpangan-penyimpangan patologis atau kelas-kelas defektif dalam masyarakat. Bentuk-bentuk tingkah laku yang menyimpang secara social dan sangat ditilak oleh umum, seperti homoseksual, alkoholisme kronis, dan gangguan-gangguan mental tertentu itu menurut teori biologi disebabkan oleh peristiwa-peristiwa sebagai berikut:

1.      Melalui gen atau plasma pembawa sifat di dalam keturunan atau melalui kombinasi dari gen-gen, ataupun disebabkan oleh tidak adanya gen tertentu.

2.      Melalui pewarisan tipe-tipe kecenderungan yang luar biasa/ abnormal

3.      Melalui pewarisan kelemahan konstitusional tertentu yang mengakibatkan tingkah laku sosiopatik. Pandangan psikologis dan psikiatri menekankan sebab-sebab tingkah laku patologis dari aspek social-psikologis, sehingga orang melanggar norma social yang ada. Faktor-faktor yang memepengaruhi diantaranya: intelegensi, ciri-ciri kepribadian, motivasi, sikap hidup yang keliru, dan internalisasi diri yang salah, dan konflik emosional dan kecenderungan psikopatologis yang ada di balik tingkah laku menyimpang secara social.

Selanjutnya para sosiolog berpendapat bahwa perilaku sosiopatis diakrenakan factor kultural dan social yang sangat mempengaruhi struktur organisasi social, peranan, status individu, partisipasi social.

 

B.     Postulat/ Dalil mengenai Penyimpangan Tingkah Laku Sosiopatik

 

1.      Tingkah laku sosiopatik mempunyai ciri khusus dan dianggap sosiopatik pada waktu tertentu dan tempat tertentu.

2.      Penyimpangan tingkah laku adalah produk dari konflik social dan konflik internal/ pribadi yang ditampakkan keluar dalam bentuk penerimaan samapi penolakan. Penolakan sangat bergabtung dari derajat penyimpangan tingkah laku.

3.      Orang mengadakan larangan dan pembatasan terhadap kebebasan berpartisipasinya para penyimpang. Larangan tersebut tergantung pada status, peran, pendefinisian diri, dan penampakkan yang jelas dari tingkah laku mereka.

 

C.    Pengertian Sosiopatik

Istilah psikopat yang sejak 1952 diganti dengan Sosiopat dan dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) II 1968 resmi dinamakan Sosiopat. Hare menyamakannya dengan salah satu kelainan, yaitu Anti Social Personality Disorder (Hare, Hart & Harpur, 1991). Istilah psikopat yang sudah sangat dikenal masyarakat justru tidak ditemukan dalam DSM IV.Artinya, psikopat tidak tercantum dalam daftar penyakit, gangguan atau kelainan jiwa di lingkungan ahli kedokteran jiwa Amerika Serikat.Psikopat dalam kedokteran jiwa masuk dalam klasifikasi gangguan kepribadian dissosial. Psikopat tak sama dengan Skizofrenia karena seorang psikopat sadar sepenuhnya atas perbuatannya. Pengidap psikopat juga sering disebut sebagai sosiopat karena prilakunya yang antisosial dan merugikan orang-orang terdekatnya.

Psikopat – Psycho atau Sosiopatik = Anti Sosial. Psikopat adalah seseorang yang dapat memutarbalikan/ menyembunyikan fakta, alibi dan tidak mempunyai rasa bersalah/ malu atau penyesalan sama sekali atas suatu perilaku merugikan yang dilakukan oleh dirinya, terkesan cerdik, smart (pintar), pandai mengelak, manipulatif dan jago berargumentasi melalui artikulasi berbahasa saat melakukan suatu kejahatan yang sempurna dalam bentuk penubunuhan fisik atau psikologis. Dr. Hare melaporkan bahwa 1% dari penduduk dunia adalah psikopat dan seperempatnya melakukan bunuh diri.Seorang psikopat dikatakan mengalami suatu gangguan kepribadian anti sosial, dimana mereka tidak mempunyai emosional insight tetapi memiliki intelektual insight.Pola asuh yang salah pada masa kanak sering berkontribusi pada kejadian anti sosial pada waktu dewasa.

Menurut kaum sosiolog tingkah laku sosiopatik adalah tingkah laku yang berbeda dan menyimpang dari kebiasaan serta norma umum, yang ada pada suatu tempat dan waktu tertentu yang ditolak sekalipun tingkah laku tersebut di tempat dan waktu lain bisa diterima oleh masyarakat lainnya.

Sosiopatik atau dapat pula disebut psikopatik adalah tingkah laku yang menyimpang dari norma masyarakat dimana pelakunya bukanlah pengidap penyakit mental dan tidak mempedulikan keadaan sekitar (anti sosial).

 

D.    Ciri-ciri Perilaku Sosiopatik (Psikopatik)

1.      Hare mengungkapkan empat ciri karakter, yakni antisosial (antisocial), pribadi yang sulit diduga (borderlne), pandai bersandiwara (histrionic) dan egois (narcisstic).

a)      Seseorang yang antisosial biasanya cuek pada norma-norma sosial, tak peduli pada aturan, dan pemberontak. Kepribadiannya yang sulit ditebak (borderlne), bisa terlihat dari ketidakstabilannya dalam hubungan interpersonal, citra diri, serta selalu bertindak menuruti kata hati. Tanpa peduli perbuatannya itu salah atau benar, mengganggu orang atau tidak.

b)      Orang seperti ini cenderung impulsif (melakukan sesuatu tanpa pikir panjang), dan berpikiran negatif. Ia juga memiliki sifat pendendam. Sedikit saja Anda melakukan kesalahan, seumur hidup diingat dan suatu saat akan diungkit lagi. Sedangkan pribadi histrionic, emosinya tak terkendali alias meledak-ledak, dan selalu ingin menarik perhatian.

c)      Kepribadian narcisstic, yang ditunjukkan dengan sikapnya yang selalu ingin dikagumi, serta minimnya empati. Ia selalu berusaha membuat hanya dirinya satu-satunya lelaki dalam hidup Anda. Hanya dialah yang boleh Anda puja.

2.      Tidak pernah merasa menyesal, meski telah menyakiti orang lain. Bila ketahuan bersalah, wajahnya akan tetap seperti tak berdosa.

3.      Sepintas, gelagat mereka tidak kelihatan seperti orang yang punya kelainan. Pasalnya, secara tampak mata mereka terlihat menarik, pintar dan berlaku seperti orang normal lainnya.

4.      Sering berbohong, fasih dan dangkal. Psikopat seringkali pandai melucu dan pintar bicara, secara khas berusaha tampil dengan pengetahuan di bidang sosiologi, psikiatri, kedokteran, psikologi, filsafat, puisi, sastra, dan lain-lain. Seringkali pandai mengarang cerita yang membuatnya positif, dan bila ketahuan berbohong mereka tak peduli dan akan menutupinya dengan mengarang kebohongan lainnya dan mengolahnya seakan-akan itu fakta.

5.       Senang melakukan pelanggaran dan bermasalah perilaku di masa kecil.Kurang empati. Bagi psikopat memotong kepala ayam dan memotong kepala orang, tidak ada bedanya.

6.      Psikopat juga teguh dalam bertindak agresif, menantang nyali dan perkelahian, jam tidur larut dan sering keluar rumah.

7.      Impulsif dan sulit mengendalikan diri. Untuk psikopat tidak ada waktu untuk menimbang baik-buruknya tindakan yang akan mereka lakukan dan mereka tidak peduli pada apa yang telah diperbuatnya atau memikirkan tentang masa depan. Pengidap juga mudah terpicu amarahnya akan hal-hal kecil, mudah bereaksi terhadap kekecewaan, kegagalan, kritik, dan mudah menyerang orang hanya karena hal sepele.

8.      Tidak mampu bertanggung jawab dan melakukan hal-hal demi kesenangan belaka.

9.      Manipulatif dan curang. Psikopat juga sering menunjukkan emosi dramatis walaupun sebenarnya mereka tidak sungguh-sungguh.Mereka juga tidak memiliki respon fisiologis yang secara normal diasosiasikan dengan rasa takut seperti tangan berkeringat, jantung berdebar, mulut kering, tegang, gemetar. Bagi psikopat hal ini tidak berlaku karena itu psikopat seringkali disebut dengan istilah "dingin".

10.  Hidup sebagai parasit karena memanfaatkan orang lain untuk kesenangan dan kepuasan dirinya.

 

E.     Jenis-jenis Psikopat/Sosiopat

Menurut Hervey Checkley dalam bukunya The Mask of Sanity(1941), ada empat jenis psikopat:

1)      Primary Psychopath yang bergeming pada hukuman, penahanan, tekanan, atau celaan. Mereka punya cara sendiri untuk memaknai kata dan kehidupan.

2)      Secondary Psychopath adalah pengambil resiko, dan juga lebih tanggap terhadap tekanan, mudah cemas dan merasa bersalah.

3)      Distempered Psychopath, cenderung mudah marah dan bila kumat, tingkah mereka mirip penderita epilepsi (ayan), cenderung jadi pecandu obat, kleptomania, pedofilia, bahkan bisa jadi pembunuh dan pemerkosa berantai.

4)      Charismatic Psychopath adalah si pembohong yang menarik dan menawan, selalu dianugerahi bakat tertentu, tapi memanfaatkannya untuk memperdaya yang lain. Pemimpin agama sekte tertentu yang mendorong pengikutnya bunuh diri bisa jadi contoh.


 

F.     Mobilitas pada Individu-individu Sosiopatik

 

Pada umumnya, individu-individu dan kelompok-kelompok yang menyimpang itu sangat mobile sifatnya.Pribadi-pribadi dengan mobilitas vertikal dan mobilitas spasial/ruang yang rendah, sangat dibatasi ruang geraknya oleh para anggota kelompok/lingkungan lainnya.Mereka memilki afinitas atau daya-kait yang tinggi dengan anggota-anggota kelompok sendiri.Sebaliknya, orang-orang yang merasa ditolak oleh lingkungannya, tidak mempunyai tempat dan tidak bisa menyesuaikan diri dengan anggota-anggota kelompoknya, pasti punya kecenderungan kuat untuk keluar dari daerah tempat tinggalnya.Dan besar keinginannya untuk bermigrasi ke dalam masyarakat dengan struktur organisasi yang berbeda.Tidak jarang mereka itu berpindah-pindah tempat tinggal untuk memperluas komunikasi dan habitat atau tempat tinggal.Jadi, ruang gerak mereka menjadi lebih luas dan longgar.

 

Para penjahat itu pada umumnya merupakan individu dengan mobilitas tinggi.Namun, pada hakikatnya mereka itu terisolisasi dari bagian terbesar masyarakat normal.Biasanya mereka terpaksa meninggalkan pola hidup kawin/berkeluarga.Sebab, resiko ditangkap dan dimasukkan dalam penjara besar sekali.Setiap saat mereka bisa berurusan dan baku-tembak dengan polisi.Maka pemuasan dorongan seksual terpaksa disalurkan melalui relasi dengan wanita-wanita tuna-susila atau dengan wanita-wanita “piaraan” yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi.Hubungan mereka dengan anggota-anggota masyarakat normal sangat terbatas dan tidak akrab.Mereka bahkan diamati dengan rasa curiga, baik oleh para anggota masyarakat pada umumnya, maupun oleh penjahat-penjahat lokal lainnya, oleh polisi dan penguasa setempat.

 

Individu yang dianggap sebagai pesona non grata-pribadi yang tidak diterima, tidak mendapatkan pengampunan-oleh tingkah lakunya yang menyimpang, praktis akan dikucilkan atau dikeluarkan sama sekali dari semua partisipasi sosial oleh masyarakat, dan secara geografis tidak banyak berkomunikasi dengan daerah luar. Khususnya individu yang dianggap berbahaya oleh kepala suku (clan, kampung, kelompok), akan ditolak sama sekali bahkan diusir dari daerah tersebut. Maka tekanan-tekanan sosial yang sentripental-keluar dari tokoh pemimpin yang dianggap sebagai kekuatan suku-mempunyai daya memaksa yang kuat sekali.

 

 

G.    Factor Penyebab

 

Factor utama yang menyebabkan orang bertindak sosiopat memang belum jelas hingga kini.Tapi hipotesis yang diajukan Hare menduga psikopat terjadi akibat kelainan fungsi otak.Ini didasarkan pengalaman Hare saat memeriksa seorang pasien psikopat berusia 46 tahun bernama Al. Pada otak Al terbukti ditemukan kelainan.Al tidak dapat memisahkan stimulus yang bersifat rasional dari yang emosional.Semua stimulus diolah sekaligus oleh belahan otak kiri (pusat rasio) dan otak kanan (pusat emosi).Karena itu, menurut Hare, seorang psikopat tidak sekadar berbohong atau hipokrit, tapi juga ada sesuatu yang lebih serius, yakni ada kelainan di otaknya. Dugaan adanya faktor biologis ini juga muncul dalam laporan Pridmore, Chambers dan McArthur pada 2005.Mereka melaporkan adanya hubungan antara gejala psikopat dengan kelainan sistem serotonin, kelainan struktural, dan kelainan fungsional pada otak. Temuan lain disampaikan pula oleh Litman setahun sebelumnya. Ia menyebutkan, penderita psikopat mengalami kelainan neurologik pada sindrom erotic violence. Pada 2003, Raine juga mengungkapkan ada kelainan Corpus collosum pada sosok psikopat.

Faktor lain penyebab psikopat diutarakan Kirkman (2002). Ia menyatakan, pengidap kepribadian psikopat memiliki latar belakang masa kecil yang tak memberi peluang untuk perkembangan emosinya secara optimal. Anak-anak salah asuh ini akan tumbuh menjadi orang-orang yang tak bisa berempati dan tak memiliki kata hati (consceince).

Faktor genetik dan lingkungan juga berperan besar melahirkan karakter psikopat.Stres atau tekanan hidup yang besar bisa pula merubah perilaku seseorang menjadi brutal.Namun bila sifatnya sementara, karena ada pemicu yang masuk akal, maka tidak bisa dikatakan psikopat.Ciri psikopat sebenarnya bisa dideteksi sejak kanak-kanak melalui berbagai perilaku yang tidak biasa.Perilaku antisosial pada anak-anak ternyata merupakan warisan genetik.Penelitian terhadap anak-anak kembar menunjukkan, anak menunjukkan kecenderungan psikopatik dini.Penelitian tersebut dilakukan terhadap 3.687 pasang anak kembar berusia tujuh tahun.

Faktor lingkungan fisik dan sosial yang beresiko berkembangnya seorang psikopat menjadi kriminal adalah tekanan ekonomi yang buruk, perlakuan kasar dan keras sejak usia anak, penelantaran anak, perceraian orang tua, kesibukan orangtua, faktor pemberian nutrisi tertentu, dan kehidupan keluarga yang tidak mematuhi etika hukum, agama dan sosial. Lingkungan yang beresiko lainnya adalah hidup ditengah masyarakat yang dekat dengan perbuatan criminal seperti pembunuhan, penyiksaan, kekerasan dan lain sebagainya.


DAFTAR  PUSTAKA

Davidson C.G; Neale.J; Kring A.M..2004.Psikologi Abnormal. Alih Bahasa Noermalasari Fajar. Jakarta: Raja Grafindo.

Djamaludi Ancok, 2004. Psikologi terapan, (mengupas dinamika kehidupan umat manusia) Yogyakarta, Darussalam

Kartini Kartono. 1997. Patologi sosial 1 (edisi Baru) Jakarta Rajawali Perss.

Kompas. 2011. Korupsi Itu Mencuri dari Si Miskin diakses 3 September 2011 dari http:// http://www.kompas.com

Mudjiran, 2002, Patologi Sosial Jilid 1 Padang FIP IKIP Padang

Nevid J.S; Rathus S.A; Greene B.. 2003. Psikologi Abnormal. Alih Bahasa Tim Fakultas Psikologi UI. Jakarta: Erlangga

Siswanto, 2007. Kesehatan mental ( konsep, cakupan dan perkembangannya) Andi Yogyakarta

 



[2] Kompas. 2011. Korupsi Itu Mencuri dari Si Miskin diakses 3 September 2011 dari http:// http://www.kompas.com

[3] Lihat Mudjiran, 2002, Patologi Sosial Jilid 1 Padang FIP IKIP Padang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mukaddimah Ilmu Sosial

PERKEMBANGAN DAN RUANG LINGKUP SOSIOLOGI

Sosiologi merupakan ilmu yang muncul jauh setelah kehadiran ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Meskipun pertanyaan mengenai perubahan d...

Postingan Populer