TINGKAH LAKU SOSIOPATIK
`
Pendekatan tentang Tingkah Laku Sosiopatik
Menurut sosiolog tingkah laku sosiopatik adalah tingkah laku yang berbeda dan menyimpang dari kebiasaan serta norma umum, yang ada pada suatu tempat dan waktu tertentu yang ditolak sekalipun tingkah laku tersebut di tempat dan waktu lain bisa diterima oleh masyarakat lainnya. Arti sosiopatik ialah menjadi sakit secara sosial, adapun terjadinya sebabnya bahwa satu lingkungan dengan kultur yang tidak menguntungkan bisa memberikan banyak rangsangan kepada individu – individu tertentu untuk menjadi sakit secara sosial.
Menurut Paul B Horton perilaku sosiopatik memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
· Penyimpangan harus dapat didefinisikan, artinya penilaian menyimpang tidaknya suatu perilaku harus berdasar kriteria tertentu dan diketahui penyebabnya. Penyimpangan bisa diterima bisa juga ditolak. Penyimpangan relatif dan penyimpangan mutlak, artinya perbedaannya ditentukan oleh frekuensi dan kadar penyimpangan.
· Penyimpangan terhadap budaya nyata ataukah budaya ideal, artinya budaya ideal adalah segenap peraturan hukum yang berlaku dalam suatu kelompok masyarakat. Antara budaya nyata dengan budaya ideal selalu terjadi kesenjangan. Terdapat norma-norma penghindaran dalam penyimpangan. Norma penghindaran adalah pola perbuatan yang dilakukan orang untuk memenuhi keinginan mereka, tanpa harus menentang nilai-nilai tata kelakuan secara terbuka.
·
Penyimpangan sosial
bersifat adaptif, artinya perilaku menyimpang merupakan salah satu cara untuk
menyesuaikan kebudayaan dengan perubahan sosial.
Adapun sebab-sebab terjadinya perilaku
menyimpang adalah sebagai berikut :
a.
Penyimpangan sebagai
akibat dari proses sosialisasi yang tidak sempurna
Karena
ketidaksanggupan menyerap norma-norma kebudayaan ke dalam kepribadiannya,
seorang individu tidak mampu membedakan perilaku yang pantas dan yang tidak
pantas. Ini terjadi karena seseorang menjalani proses sosialisasi yang tidak
sempurna dimana agen-agen sosialisasi tidak mampu menjalankan peran dan
fungsinya dengan baik.
Contohnya
seseorang yang berasal dari keluarga broken home dan kedua orang tuanya tidak
dapat mendidik si anak secara sempurna sehinga ia tidak mengetahui hak-hak dan
kewajibanya sebagai anggota keluarga maupun sebagai anggota masyarakat.
Perilaku yang terlihat dari anak tersebut misalnya tidak mengenal disiplin,
sopan santun, ketaatan dan lain-lain.
b.
Penyimpangan karena
hasil proses sosialisasi subkebudayaan menyimpang
Subkebudayaan adalah suatu kebudayaan khusus yang normanya bertentangan dengan norma-norma budaya yang dominan. Unsur budaya menyimpang meliputi perilaku dan nilai-nilai yang dimiliki oleh anggota-anggota kelompok yang bertentangan dengan tata tertib masyarakat. Contoh kelompok menyimpang diantaranya kelompok penjudi, pemakai narkoba, geng penjahat, dan lain-lain.
a.
Penyimpangan sebagai
hasil proses belajar yang menyimpang
Proses
belajar ini melalui interaksi sosial dengan orang lain, khususnya dengan
orang-orang berperilaku menyimpang yang sudah berpengalaman. Penyimpangan
inipun dapat belajar dari proses belajar seseorang melalui media baik buku,
majalah, koran, televisi dan sebagainya.
Biasanya tingkah laku sosiopatik itu
akan mendapat reaksi dari masyarakat berupa :[1]
o Hukuman
o Penolakan
o Pemisahan
o Pengucilan
I. Korupsi
Sebagai Tindakan Sosiopatik
Secara pandangan umum korupsi adalah
perilaku pejabat publik, baik politikus politisi maupun pegawai negeri, yang
secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang
dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan
kepada mereka.
Mohammad Hatta mengatakan bahwa korupsi
adalah masalah budaya, artinya bahwa korupsi di Indonesia tidak mungkin
diberantas kalau masyarakat secara keseluruhan tidak bertekad untuk
memberantasnya.
Korupsi dalam pandangan politik pada
umumnya korupsi dimasukkan orang sebagai masalah politik karena menyangkut
penyalahgunaan (misuse) kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi. Pemerintah
telah merumuskan UU Anti Korupsi yang terdiri dari empat unsur penting, yaitu
unsur penyalahgunaan wewenang, unsur memperkaya diri sendiri atau korporasi,
unsur merugikan keuangan negara dan unsur pelanggaran hukum.
Selain faktor di atas banyak lagi aspek
psikologis yang menyebabkan seseorang untuk melakukan korupsi, personality yang
tidak sehat, tidak mandiri, lokus of control terhadap prilaku yang rendah,
ketidak matangan emotional, proses berfikir jangka pendek, pengaruh kelompok
sosial, gaya hidup yang hedonism dan lain sebagainya mendorong seseorang untuk
berprilaku menyimpang dan menghalakan segala cara.
Negara Indonesia adalah negara yang
termasuk memiliki suber daya alam yang kaya, tetapi karena pemerintahannya
tidak dapat mengelolanya dengan system manajement yang baik sehingga keuntungan
dari kekayan itu hanya sedikit yang dapat dinikmati oleh rakyat. Pemerintah
justeru memperbanyak hutang untuk pembanggunan dan mencukupi pemasukan negara
sehingga rakyat pun terlilit dalam kemiskinan permanen. Kemiskinan yang
berkepanjangan menumpulkan kecerdasan dan kreatifitas bahkan menimbulkan
sikap-sikap hopless putus asa sehingga banyak yang mencari jalan pintas untuk
mengatasi ersoalanya dengan perilaku menyimpang dan menghalalkan segala cara,
mencuri, merampok, berjudi masuk terjerembap dalam kurungan keyakinan mistik,
fatalism dan lain-lain.
Kepercayaan terhadap pentingnya nilai-nilai
prestasi, kerja keras, kejujuran, dan keterampilan, kecerdasan semakin memudar
karena kenyataan yang ditemui dalam kehidupan masyarakat menunjukkan yang
sebaliknya, banyak mereka yang kerja keras, jujur dan pandai, tetapi tetap saja
miskin dan menjadi orang pinggiran hanya karena mereka datang dari kelompok
keluarga yang tak beruntung, seperti para petani, kaum buruh, pedangan kecil
dan pegawai rendahan. Sementara itu, banyak yang mendapatkan kekayaan dengan
mudah aman walau tidak jujur, kerja santai, tidak kreatif karena mereka datang
dari kelompok elite atau berhubungan dekat dengan para pejabat, penguasa, dan
para tokoh masyarakat.
Akibatnya, muncul keyakinan pada
masyarakat bahwa tidak perlu jujur, karena orang jujur tidak akan mujur, tidak
perlu pandai karena yang dibutuhkan berpandai-pandai, tidak perlu kerja keras
karena dengan jalan korupsi kolusi dan nepotisme, meyuap, menjilat lancar semua
urusan. Kepercayaan terhadap pentingnya kecerdasan intelektual pun menurun
karena hanya dipakai para elite untuk membodohi masyarakat saja. Pengaruh media
dan gaya hidup yang materialistis berlebihan sebaliknya, menjadikan masyarakat
menjadi lebih percaya adanya peruntungan hingga menempuh jalan-jalan instan
yang berbahaya, budaya memanipulasi dan budaya permisif terhadap penyimpangan
sehingga perdukunan, perjudian, kejahatan dan perilaku menyimpang lainnya dalam
berbagai bentuk semakin marak di mana-mana.
Disamping itu persoalan penegakan hukum
yang tidak tegas, pandang bulu, tebang pilih makin menjadi reinforcement
penguatan perilaku menyimpang tersebut karena masyarakat menilai hukuman bagi
para koruptor itu sangatlah ringan. Mencuri miliaran sampai dengan triliunan
hanya dihukum beberapa tahun saja, bahkan banyak kasus besar yang merugikan
negara hingga triliunan dan hingga kini masih tidak jelas penyelesaiannya,
ataupun sangat sedikit koruptornya yang telah disidang atau dipenjara. Akhirnya
masyarakat merasa bahwa tetap menguntungkan menjadi pejabat korup walaupun
tertangkap karena hukumannya beberapa tahun saja, seterusnya dia dapat hidup
nyaman karena dipenjara juga bias hidup enak dengan fasilitas yang elit, dan
akan mendapatkan remisi pada setiap hari besar agama dan kenegaraan, apa lagi
kalau tidak terbukti di persidangan atau malah tidak ketauan maka beruntunglah
orang-orang seperti itu.
Dalam tinjauan Psikologi, seorang
pemimpin dan pejabat yang menghalalkan segala cara, dan menumpuk kekayaan untuk
kepentingan pribadi dan kelompok (Keluarga, suku, klan, Partai) nya, adalah
termasuk kedalam kategori orang yang sakit secara mental. Banyak pemimpin yang
abnormal pembawa bibit penyakit mental, seperti sikap tidak jujur, korup, tidak
pernah puas dengan kekayaan, mereka bahkan menularkan penyakit sosial ini
kebawahan dan bahkan ke lingkungan sekitarnya. Pemimpin-pemimpin yang sakit
secara sosial itu adalah cerminan dari masyarakat yang tengah sakit pula. Karena
mereka hadir dan muncul serta dipilih oleh masyarakat yang sangat pragmatis dan
bahkan oportunis.
Akhirnya sikap-sikap seperti di atas yang memperparah korupsi sebagai patologi sosial, pemahaman masyarakat tentang korupsipun akhirnya ikut terdistorsi. dari awalnya masyarakat menganggap perilaku korupsi itu sebagai patologi sosial, suatu penyimpangan, penyakit masyarakat.
II. Reaksi
Sosial terhadap Perlaku Sosiopatik
Reaksi sosial terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan (penjahat) seperti yang telah Kita pahami bahwa kejahatan adalah suatu perbuatan yang merugikan masyarakat sehingga terhadapnya diberikan reaksi yang negatif. Kita juga telah pahami bahwa reaksi terhadap kejahatan dan penjahat, dipandang dari segi pelaksanaannya. dilihat dari segi pencapaian tujuannya dapat dibagi menjadi dua yakni; Reaksi Represif dan Reaksi Preventif. Karena berbeda tujuannya maka secara operasionalnya pun akan berbeda, khususnya dari metode pelaksanaan dan sifat pelaksanaannya.
a. Reaksi
represif
Secara
singkat pengertian reaksi atau tindak represif adalah tindakan yang dilakukan
oleh masyarakat (formal) yang ditujukan untuk menyelesaikan kasus atau
peristiwa kejahatan yang telah terjadi, guna memulihkan situasi dengan
pertimbangan rasa keadilan dan kebenaran yang dijunjung tinggi.
Contoh
kasus; tema (pembobolan )
b. Reaksi
preventif
Yang
dimaksud dengan reaksi atau tindak preventif adalah tindak pencegahan agar
kejahatan tidak terjadi. Artinya segala tindak-tindak pengamanan dari ancaman
kejahatan adalah prioritas dari reaksi preventif ini. Menyadari
pengalaman-pengalaman waktu lalu bahwa kejahatan adalah suatu perbuatan yang
sangat merugikan masyarakat maka anggota masyarakat berupaya untuk mencegah
agar perbuatan tersebut tidak dapat terjadi.
Selain reaksi represif dan reaksi
preventif ada juga reaksi formal dan reaksi informal,[2]
1) Reaksi
Formal
Reaksi
formal terhadap kejahatan adalah reaksi yang diberikan kepada pelaku kejahatan
atas perbuatannya, yakni melanggar hukum pidana, oleh pihak-pihak yang diberi
wewenang atau kekuatan hukum untuk melakukan reaksi tersebut.
Sebagai
suatu sistem pengendali kejahatan maka secara rinci, tujuan sistem peradilan
pidana, dengan demikian adalah;[3]
(1) mencegah agar masyarakat tidak menjadi
korban kejahatan,
(2) menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi
sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah
dipidana, serta
(3) mengusahakan agar mereka yang pernah
melakukan kejahatan tidak mengulangi kejahatannya.
Contoh
kasus; tema (efek jera shaming/malu untuk para koruptor)
Usul
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang didukung organisasi masyarakat sipil
salah satunya, Indonesian Corruption Watch (ICW) untuk mengenakan simbol-simbol
berupa pakaian khusus bagi tersangka pelaku korupsi. Hal ini semakin menarik
ketika ICW secara khusus mengusulkan sejumlah rancangan pakaian khusus bagi
koruptor tersebut.
Sulit
untuk melihat bahwa shaming dalam bentuk "pakaian khusus koruptor"
masuk dalam reintegrative shaming. Tujuannya lebih pada membuat malu itu
sendiri dan sebagian berpendapat untuk membuat jera. Perlu dipahami bahwa
keinginan untuk membuat malu dan jera lebih melihat pada aspek kesalahan dari
pelaku atau tidak melihat pada sejauh mana shaming bermanfaat untuk memulihan
konflik.
Namun,
hal ini tidak sekaligus berarti reaksi yang diberikan justru melanggar hak-hak
dari para pelaku koruptor. Terlebih lagi bila para koruptor yang dimaksud masih
berstatus sebagai tersangka. Sederhananya, reaksi tetap harus melindungi hak
tersangka untuk diduga tidak bersalah. Bila ini kembali dilihat dengan filosofi
pemasyarakatan jelas tidak mendukung semangat memberikan reaksi formal yang
manusiawi dan melindungi HAM.
Ketiga
pertimbangan ini perlu diperhatikan dengan baik bila tujuan akhir dari setiap
reaksi formal terhadap kejahatan adalah "meluruskan" kesalahan pelaku
dan membuatnya diterima kembali di masyarakat. Ide "pakaian khusus
koruptor" dalam hal ini masih terlalu jauh dari bermanfaat bagi upaya
memerangi korupsi di negeri ini.
Hal
yang jauh lebih penting dalam menimbulkan penjeraan ini adalah kepastian bahwa
proses hukum berjalan bagi siapapun yang melakukan korupsi dan kepastian bahwa
hakim akan memberikan hukuman yang mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.
Satu
penjelasan teoritik tentang peran membuat malu pada pelaku kejahatan untuk
tujuan mengintegrasikan kembali dirinya dengan masyarakat. Penjelasan teoritik
tersebut disebut Reintegrative Shaming. Pelaku kejahatan cukup dibuat malu namun
ditujukan untuk membuat dirinya dan masyarakat sadar atas kesalahan yang telah
dilakukan. Dalam konteks tipologi kejahatan, memang tidak semua jenis kejahatan
dapat dipulihkan dengan cara ini.
Berkebalikan
dengan reintegrative shaming, ada pula upaya membuat malu yang tidak ditujukan
untuk reintegrasi pelaku, yaitu stigmatisasi. Dalam hal ini pelaku kejahatan
cukup hanya dibuat malu dan lebih jauh dari itu juga menciptakan "rasa
sakit" secara psikologis. Stigmatisasi secara simbolik juga memperlihatkan
penolakan masyarakat bagi pelaku kejahatan.
2) Reaksi
Informal
Reaksi
informal yang dilakukan bukan oleh aparat penegak hukum tetapi oleh warga
masyarakat biasa. Masyarakat biasa di samping telah mendelegasikan haknya
kepada aparat penegak hukum berhak saja bereaksi terhadap kejahatan dan
penjahat sebatas mereka tidak melanggar peraturan yang ada.
Dalam kriminologi, reaksi informal dari masyarakat itu lebih dikenal sebagai tindak kontrol sosial informal. Studi-studi memperlakukan beberapa aspek dari kontrol sosial informal pada tingkat komunitas ketetanggaan yang digunakan untuk membangun tipologi dari definisi operasional dari kontrol sosial informal. Definisi operasional ditemui dalam dua dimensi yaitu; bentuk dan tempat.
Para biolog juga menmpilkan
minatnya terhadap gejala patologi social, yaitu menyatakan adanya
penyimpangan-penyimpangan patologis atau kelas-kelas defektif dalam masyarakat.
Bentuk-bentuk tingkah laku yang menyimpang secara social dan sangat ditilak
oleh umum, seperti homoseksual, alkoholisme kronis, dan gangguan-gangguan
mental tertentu itu menurut teori biologi disebabkan oleh peristiwa-peristiwa
sebagai berikut:
1.
Melalui gen atau plasma pembawa sifat di
dalam keturunan atau melalui kombinasi dari gen-gen, ataupun disebabkan oleh
tidak adanya gen tertentu.
2.
Melalui pewarisan tipe-tipe
kecenderungan yang luar biasa/ abnormal
3.
Melalui pewarisan kelemahan
konstitusional tertentu yang mengakibatkan tingkah laku sosiopatik. Pandangan
psikologis dan psikiatri menekankan sebab-sebab tingkah laku patologis dari
aspek social-psikologis, sehingga orang melanggar norma social yang ada.
Faktor-faktor yang memepengaruhi diantaranya: intelegensi, ciri-ciri
kepribadian, motivasi, sikap hidup yang keliru, dan internalisasi diri yang
salah, dan konflik emosional dan kecenderungan psikopatologis yang ada di balik
tingkah laku menyimpang secara social.
Selanjutnya para sosiolog berpendapat
bahwa perilaku sosiopatis diakrenakan factor kultural dan social yang sangat
mempengaruhi struktur organisasi social, peranan, status individu, partisipasi
social.
B.
Postulat/ Dalil mengenai
Penyimpangan Tingkah Laku Sosiopatik
1. Tingkah
laku sosiopatik mempunyai ciri khusus dan dianggap sosiopatik pada waktu
tertentu dan tempat tertentu.
2. Penyimpangan
tingkah laku adalah produk dari konflik social dan konflik internal/ pribadi
yang ditampakkan keluar dalam bentuk penerimaan samapi penolakan. Penolakan
sangat bergabtung dari derajat penyimpangan tingkah laku.
3. Orang
mengadakan larangan dan pembatasan terhadap kebebasan berpartisipasinya para
penyimpang. Larangan tersebut tergantung pada status, peran, pendefinisian
diri, dan penampakkan yang jelas dari tingkah laku mereka.
C. Pengertian Sosiopatik
Istilah psikopat yang sejak 1952 diganti dengan Sosiopat dan dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) II 1968 resmi dinamakan Sosiopat. Hare menyamakannya dengan salah satu kelainan, yaitu Anti Social Personality Disorder (Hare, Hart & Harpur, 1991). Istilah psikopat yang sudah sangat dikenal masyarakat justru tidak ditemukan dalam DSM IV.Artinya, psikopat tidak tercantum dalam daftar penyakit, gangguan atau kelainan jiwa di lingkungan ahli kedokteran jiwa Amerika Serikat.Psikopat dalam kedokteran jiwa masuk dalam klasifikasi gangguan kepribadian dissosial. Psikopat tak sama dengan Skizofrenia karena seorang psikopat sadar sepenuhnya atas perbuatannya. Pengidap psikopat juga sering disebut sebagai sosiopat karena prilakunya yang antisosial dan merugikan orang-orang terdekatnya.
Psikopat
– Psycho atau Sosiopatik = Anti Sosial. Psikopat adalah seseorang yang dapat memutarbalikan/
menyembunyikan fakta, alibi dan tidak mempunyai rasa bersalah/ malu atau
penyesalan sama sekali atas suatu perilaku merugikan yang dilakukan oleh
dirinya, terkesan cerdik, smart (pintar), pandai mengelak, manipulatif dan jago
berargumentasi melalui artikulasi berbahasa saat melakukan suatu kejahatan yang
sempurna dalam bentuk penubunuhan fisik atau psikologis. Dr. Hare melaporkan
bahwa 1% dari penduduk dunia adalah psikopat dan seperempatnya melakukan bunuh
diri.Seorang psikopat dikatakan mengalami suatu gangguan kepribadian anti
sosial, dimana mereka tidak mempunyai emosional insight tetapi memiliki
intelektual insight.Pola asuh yang salah pada masa kanak sering berkontribusi
pada kejadian anti sosial pada waktu dewasa.
Menurut
kaum sosiolog tingkah laku sosiopatik adalah tingkah laku yang berbeda dan
menyimpang dari kebiasaan serta norma umum, yang ada pada suatu tempat dan
waktu tertentu yang ditolak sekalipun tingkah laku tersebut di tempat dan waktu
lain bisa diterima oleh masyarakat lainnya.
Sosiopatik
atau dapat pula disebut psikopatik adalah tingkah laku yang menyimpang dari
norma masyarakat dimana pelakunya bukanlah pengidap penyakit mental dan tidak
mempedulikan keadaan sekitar (anti sosial).
D. Ciri-ciri Perilaku Sosiopatik (Psikopatik)
1. Hare
mengungkapkan empat ciri karakter, yakni antisosial (antisocial),
pribadi yang sulit diduga (borderlne), pandai bersandiwara (histrionic)
dan egois (narcisstic).
a) Seseorang
yang antisosial biasanya cuek pada norma-norma sosial, tak
peduli pada aturan, dan pemberontak. Kepribadiannya yang sulit ditebak (borderlne),
bisa terlihat dari ketidakstabilannya dalam hubungan interpersonal, citra diri,
serta selalu bertindak menuruti kata hati. Tanpa peduli perbuatannya itu salah
atau benar, mengganggu orang atau tidak.
b) Orang
seperti ini cenderung impulsif (melakukan sesuatu tanpa pikir panjang), dan
berpikiran negatif. Ia juga memiliki sifat pendendam. Sedikit saja Anda
melakukan kesalahan, seumur hidup diingat dan suatu saat akan diungkit lagi.
Sedangkan pribadi histrionic, emosinya tak terkendali alias
meledak-ledak, dan selalu ingin menarik perhatian.
c) Kepribadian narcisstic,
yang ditunjukkan dengan sikapnya yang selalu ingin dikagumi, serta minimnya
empati. Ia selalu berusaha membuat hanya dirinya satu-satunya lelaki dalam
hidup Anda. Hanya dialah yang boleh Anda puja.
2. Tidak
pernah merasa menyesal, meski telah menyakiti orang lain. Bila ketahuan
bersalah, wajahnya akan tetap seperti tak berdosa.
3. Sepintas,
gelagat mereka tidak kelihatan seperti orang yang punya kelainan. Pasalnya,
secara tampak mata mereka terlihat menarik, pintar dan berlaku seperti orang
normal lainnya.
4. Sering
berbohong, fasih dan dangkal. Psikopat seringkali pandai melucu dan pintar
bicara, secara khas berusaha tampil dengan pengetahuan di bidang sosiologi,
psikiatri, kedokteran, psikologi, filsafat, puisi, sastra, dan lain-lain.
Seringkali pandai mengarang cerita yang membuatnya positif, dan bila ketahuan
berbohong mereka tak peduli dan akan menutupinya dengan mengarang kebohongan
lainnya dan mengolahnya seakan-akan itu fakta.
5. Senang
melakukan pelanggaran dan bermasalah perilaku di masa kecil.Kurang empati. Bagi
psikopat memotong kepala ayam dan memotong kepala orang, tidak ada bedanya.
6. Psikopat
juga teguh dalam bertindak agresif, menantang nyali dan perkelahian, jam tidur
larut dan sering keluar rumah.
7. Impulsif
dan sulit mengendalikan diri. Untuk psikopat tidak ada waktu untuk menimbang
baik-buruknya tindakan yang akan mereka lakukan dan mereka tidak peduli pada apa
yang telah diperbuatnya atau memikirkan tentang masa depan. Pengidap juga mudah
terpicu amarahnya akan hal-hal kecil, mudah bereaksi terhadap kekecewaan,
kegagalan, kritik, dan mudah menyerang orang hanya karena hal sepele.
8. Tidak
mampu bertanggung jawab dan melakukan hal-hal demi kesenangan belaka.
9. Manipulatif
dan curang. Psikopat juga sering menunjukkan emosi dramatis walaupun sebenarnya
mereka tidak sungguh-sungguh.Mereka juga tidak memiliki respon fisiologis yang
secara normal diasosiasikan dengan rasa takut seperti tangan berkeringat,
jantung berdebar, mulut kering, tegang, gemetar. Bagi psikopat hal ini tidak
berlaku karena itu psikopat seringkali disebut dengan istilah
"dingin".
10. Hidup
sebagai parasit karena memanfaatkan orang lain untuk kesenangan dan kepuasan
dirinya.
E. Jenis-jenis Psikopat/Sosiopat
Menurut
Hervey Checkley dalam bukunya The Mask of Sanity(1941),
ada empat jenis psikopat:
1) Primary
Psychopath yang bergeming pada hukuman, penahanan, tekanan, atau celaan. Mereka
punya cara sendiri untuk memaknai kata dan kehidupan.
2) Secondary
Psychopath adalah pengambil resiko, dan juga lebih tanggap terhadap tekanan,
mudah cemas dan merasa bersalah.
3) Distempered
Psychopath, cenderung mudah marah dan bila kumat, tingkah mereka mirip
penderita epilepsi (ayan), cenderung jadi pecandu obat, kleptomania, pedofilia,
bahkan bisa jadi pembunuh dan pemerkosa berantai.
4) Charismatic
Psychopath adalah si pembohong yang menarik dan menawan, selalu dianugerahi
bakat tertentu, tapi memanfaatkannya untuk memperdaya yang lain. Pemimpin agama
sekte tertentu yang mendorong pengikutnya bunuh diri bisa jadi contoh.
F. Mobilitas
pada Individu-individu Sosiopatik
Pada
umumnya, individu-individu dan kelompok-kelompok yang menyimpang itu
sangat mobile sifatnya.Pribadi-pribadi dengan mobilitas
vertikal dan mobilitas spasial/ruang yang rendah, sangat dibatasi ruang
geraknya oleh para anggota kelompok/lingkungan lainnya.Mereka memilki afinitas
atau daya-kait yang tinggi dengan anggota-anggota kelompok sendiri.Sebaliknya,
orang-orang yang merasa ditolak oleh lingkungannya, tidak mempunyai tempat dan
tidak bisa menyesuaikan diri dengan anggota-anggota kelompoknya, pasti punya
kecenderungan kuat untuk keluar dari daerah tempat tinggalnya.Dan besar
keinginannya untuk bermigrasi ke dalam masyarakat dengan struktur organisasi
yang berbeda.Tidak jarang mereka itu berpindah-pindah tempat tinggal untuk
memperluas komunikasi dan habitat atau tempat tinggal.Jadi, ruang gerak mereka
menjadi lebih luas dan longgar.
Para
penjahat itu pada umumnya merupakan individu dengan mobilitas tinggi.Namun,
pada hakikatnya mereka itu terisolisasi dari bagian terbesar masyarakat
normal.Biasanya mereka terpaksa meninggalkan pola hidup
kawin/berkeluarga.Sebab, resiko ditangkap dan dimasukkan dalam penjara besar
sekali.Setiap saat mereka bisa berurusan dan baku-tembak dengan polisi.Maka
pemuasan dorongan seksual terpaksa disalurkan melalui relasi dengan
wanita-wanita tuna-susila atau dengan wanita-wanita “piaraan” yang dilakukan
secara sembunyi-sembunyi.Hubungan mereka dengan anggota-anggota masyarakat
normal sangat terbatas dan tidak akrab.Mereka bahkan diamati dengan rasa
curiga, baik oleh para anggota masyarakat pada umumnya, maupun oleh
penjahat-penjahat lokal lainnya, oleh polisi dan penguasa setempat.
Individu
yang dianggap sebagai pesona non grata-pribadi yang tidak diterima,
tidak mendapatkan pengampunan-oleh tingkah lakunya yang menyimpang, praktis
akan dikucilkan atau dikeluarkan sama sekali dari semua partisipasi sosial oleh
masyarakat, dan secara geografis tidak banyak berkomunikasi dengan daerah luar.
Khususnya individu yang dianggap berbahaya oleh kepala suku (clan, kampung,
kelompok), akan ditolak sama sekali bahkan diusir dari daerah tersebut. Maka
tekanan-tekanan sosial yang sentripental-keluar dari tokoh pemimpin yang
dianggap sebagai kekuatan suku-mempunyai daya memaksa yang kuat sekali.
G. Factor
Penyebab
Factor utama yang menyebabkan orang bertindak sosiopat memang belum jelas hingga kini.Tapi hipotesis yang diajukan Hare menduga psikopat terjadi akibat kelainan fungsi otak.Ini didasarkan pengalaman Hare saat memeriksa seorang pasien psikopat berusia 46 tahun bernama Al. Pada otak Al terbukti ditemukan kelainan.Al tidak dapat memisahkan stimulus yang bersifat rasional dari yang emosional.Semua stimulus diolah sekaligus oleh belahan otak kiri (pusat rasio) dan otak kanan (pusat emosi).Karena itu, menurut Hare, seorang psikopat tidak sekadar berbohong atau hipokrit, tapi juga ada sesuatu yang lebih serius, yakni ada kelainan di otaknya. Dugaan adanya faktor biologis ini juga muncul dalam laporan Pridmore, Chambers dan McArthur pada 2005.Mereka melaporkan adanya hubungan antara gejala psikopat dengan kelainan sistem serotonin, kelainan struktural, dan kelainan fungsional pada otak. Temuan lain disampaikan pula oleh Litman setahun sebelumnya. Ia menyebutkan, penderita psikopat mengalami kelainan neurologik pada sindrom erotic violence. Pada 2003, Raine juga mengungkapkan ada kelainan Corpus collosum pada sosok psikopat.
Faktor lain penyebab psikopat diutarakan Kirkman (2002). Ia menyatakan, pengidap kepribadian psikopat memiliki latar belakang masa kecil yang tak memberi peluang untuk perkembangan emosinya secara optimal. Anak-anak salah asuh ini akan tumbuh menjadi orang-orang yang tak bisa berempati dan tak memiliki kata hati (consceince).
Faktor genetik dan lingkungan juga berperan besar melahirkan karakter psikopat.Stres atau tekanan hidup yang besar bisa pula merubah perilaku seseorang menjadi brutal.Namun bila sifatnya sementara, karena ada pemicu yang masuk akal, maka tidak bisa dikatakan psikopat.Ciri psikopat sebenarnya bisa dideteksi sejak kanak-kanak melalui berbagai perilaku yang tidak biasa.Perilaku antisosial pada anak-anak ternyata merupakan warisan genetik.Penelitian terhadap anak-anak kembar menunjukkan, anak menunjukkan kecenderungan psikopatik dini.Penelitian tersebut dilakukan terhadap 3.687 pasang anak kembar berusia tujuh tahun.
Faktor
lingkungan fisik dan sosial yang beresiko berkembangnya seorang psikopat
menjadi kriminal adalah tekanan ekonomi yang buruk, perlakuan kasar dan keras
sejak usia anak, penelantaran anak, perceraian orang tua, kesibukan orangtua,
faktor pemberian nutrisi tertentu, dan kehidupan keluarga yang tidak mematuhi
etika hukum, agama dan sosial. Lingkungan yang beresiko lainnya adalah hidup
ditengah masyarakat yang dekat dengan perbuatan criminal seperti pembunuhan,
penyiksaan, kekerasan dan lain sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Davidson C.G; Neale.J; Kring A.M..2004.Psikologi Abnormal. Alih Bahasa Noermalasari Fajar. Jakarta: Raja Grafindo.
Djamaludi Ancok, 2004. Psikologi terapan, (mengupas dinamika kehidupan umat manusia) Yogyakarta, Darussalam
Kartini Kartono. 1997. Patologi sosial 1 (edisi Baru) Jakarta Rajawali Perss.
Kompas. 2011. Korupsi Itu Mencuri dari Si Miskin diakses 3 September 2011 dari http:// http://www.kompas.com
Mudjiran, 2002, Patologi Sosial Jilid 1 Padang FIP IKIP Padang
Nevid J.S; Rathus S.A; Greene B.. 2003. Psikologi Abnormal. Alih Bahasa Tim Fakultas Psikologi UI. Jakarta: Erlangga
Siswanto, 2007. Kesehatan mental ( konsep, cakupan dan perkembangannya) Andi Yogyakarta
[1]Lihat https://mail.google.com/mail/u/0/#search/sosiopatik/FMfcgxwJXCBTzCNXznPCHbRfGGfGwRJD pada 26 Oktober 2020 pukul 07.48 : 50 WIB
[2] Kompas. 2011. Korupsi Itu Mencuri dari Si Miskin diakses 3 September 2011 dari http:// http://www.kompas.com
[3] Lihat Mudjiran, 2002, Patologi Sosial Jilid 1 Padang FIP IKIP Padang
[4] http://fauzistks.blogspot.com/2011/08/makalah-reaksi-masyarakat-terhadap.html Pada 01 Oktober 2013, Pukul 20:55 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar