Sabtu, 30 Mei 2020

PENEGAKAN HUKUM SECARA PREVENTIF OLEH ANGGOTA BRIMOB YANG BERBASIS MODEL POLMAS




PENEGAKAN HUKUM SECARA PREVENTIF OLEH ANGGOTA BRIMOB  YANG BERBASIS MODEL POLMAS

Bangsa Indonesia telah mengalami perjalanan panjang untuk mewujudkan Indonesia sebagai bangsa yang demokratis. Mundurnya Presiden Suharto merupakan awal dimulainya orde reformasi. Salah satu tuntutan para kaum reformis adalah supremasi hukum. Kepolisian sebagai aparat hukum terdepan juga dituntut oleh masyarakat untuk mereformasi diri. Sebagai jawaban atas tuntutan reformasi tersebut, pemerintah kemudian memisahkan Polri dari ABRI melalui Ketetapan MPR. RI No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri. Hal ini dimaksudkan agar polisi dapat lebih profesional dalam melakukan tugasnya. Dalam hal ini, Polmas mengandung dua unsur utama yaitu membangun kemitraan antara polisi dan masyarakat dan menyelesaikan masalah sosial yang terjadi pada masyarakat lokal. Konsep Polmas ini kemudian dikenal sebagai Surat Keputusan Kapolri No.Pol: SKEP/737/X/2005 tentang Kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. Konsep Polmas ini berlaku untuk semua fungsi, termasuk fungsi BRIMOB (kemudian diatur dalam Surat Keputusan Kapolri No.Pol.: SKEP/432/VII/2006 tentang Panduan Pelaksanaan Fungsi-fungsi Operasional Polri Dengan Pendekatan Perpolisian Masyarakat).

Kebijakan model Polmas yang masih tergolong baru dalam Institusi Polri dan terkesan dipaksakan dalam jangka waktu yang singkat, menyebabkan sosialisasi kebijakan ini tidaklah merata mencapai manajemen lapis bawah dalam organisasi Polri. Untuk Korps Brimob sendiri, masih sangat sedikit anggota BRIMOB yang benar-benar paham mengenai kebijakan model Polmas sebagai falsafah, apalagi untuk betul-betul menerapkannya secara konsisten dala pelaksanaan bidang tugasnya. Dengan adanya harapan masyarakat terhadap terwujudnya kepolisian sipil, Brimob harus segera melakukan reformasi dari dalam guna mewujudkan anggota Brimob sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat serta penegak hukum yang profesional. Skripsi ini menggunakan pendekatan kualitatif. Adapun rumusan masalah penelitian ini adalah upaya pembinaan anggota Brimob dalam menegakan Hukum secara Preventif yang berbasis model polmas dan hambatan dalam pembinaan anggota Brimob dalam menegakan hukum secara polmas.

MODEL POLMA DI WILAYAH KESATUAN INDONESI

Pemisahan Polri dari TNI (ABRI) pasca reformasi 1998, pada kenyataanya telah memberikan sebuah bentuk paradigma baru bagi perkembangan Kepolisian di Indonesia. Kesan arogan, keras, militeristik dan pelayanan buruk berangsur-angsur mengalami perubahan menjadi sosok Polisi yang humanis,profesional dan taat hukum. Dengan ditandai lahirnya Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Polri memasuki sebuah era Kepolisian sipil yang senantiasa bertugas untuk menegakkan hukum, menjamin keamanan dan ketertiban masyarakat serta sebagai sosok pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat.

Reformasi Polri telah memasuki tahun kedua belas. Sejak pencanangan Reformasi Menuju Polri Profesional pada Hari Bhayangkara Ke-53 pada 1 Juli 1999 silam, institusi Polri bertekad melakukan perubahan mendasar menuju Polri yang profesional melalui aspek struktural, instrumental, dan kultural. Masa eforia pemisahan Polri dari ABRI terjadi pada tahun 2000, ketika terbit Ketetapan MPR Nomor VI dan No VII Tahun 2000. Dua tahun kemudian, terbitlah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI. Setelah itu pada tahun 2005, keluar Surat Keputusan Kapolri No.Pol.: Skep/737/X/2005 tanggal 13 Oktober 2005 mengenai strategi model perpolisian Indonesia yang disebut Polmas. Tahun 2006, muncul Komisi Kepolisian Nasional. Namun, tahun berganti tahun. harapan masyarakat akan sosok Polri yang ramah, melindungi, dan melayani belum juga terwujud. Keluhan terhadap Polri masih banyak, mulai dari penyimpangan internal, korupsi, penggelapan, dan masih banyak pelanggaran lainnya (Suwarni 2009: 3). Ini menandakan belum adanya perubahan sikap dan perilaku Polri dalam melayani sebagaimana didambakan masyarakat.

Dalam sepuluh tahun reformasi, di bidang struktural, Polri sudah melakukan reorganisasi Polri, mulai dari tingkat markas besar hingga tingkat satuan kewilayahan, seiring perkembangan otonomi daerah dan tuntutan tugas sebagaimana diamanatkan UU No 2 Tahun 2002 di bidang instrumental, Polri melakukan penyempurnaan berbagai petunjuk pelaksanaan tugas dan pedoman kerja Polri sampai pada tataran operasional taktik dan teknik profesi kepolisian. Polri juga menggelorakan falsafah dan penerapan strategi Community Policing atau Perpolisian Masyarakat. Istilah Perpolisian Masyarakat yang merujuk pada Skep Kapolri No.Pol.: Skep/737/X/2005 ini lebih menunjukkan pada “lembaga” atau “pranata”, namun dalam hal dimaksudkan sebagai “gaya” atau “aktivitas”-nya lebih pantas kalau digunakan istilah “Pemolisian Masyarakat” atau “Pemolisian Komunitas” (Mardjono 2006: 1). Strategi pemolisian masyarakat ini banyak dianut berbagai kepolisian di banyak negara dan hasilnya jauh lebih efektif. Dalam hal konsep Polmas sebagai democratic policing, kepala satuan dari kepala polres sampai kepala polda harus kulonuwun, berdialog dengan kepala daerah setempat, harus bertanya kepada masyarakat dalam soal pengamanan.

Sekarang bukan zamannya lagi Polri memiliki agenda tersendiri dalam pengamanan masyarakat. Polri bukanlah satu-satunya alat negara yang bertanggungjawab atas pemeliharaan ketertiban, ada banyak pihak-pihak yang terlibat yang memiliki peranan dan tanggungjawab serta kekuasaan yang berbeda pula. Ketertiban pada akhirnya sudah bukan menjadi isu milik Polri saja, walaupun dalam UU No.2 Tahun 2002 diatur bahwa lembaga Polri sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Ketertiban berkaitan dengan konsep keselamatan komunitas masyarakat, dengan kata lain ketertiban adalah konsep yang dipakai di “lapangan” (Osse 2006: 56). Meskipun setiap orang memiliki hak untuk merasa aman (tidak diganggu oleh bahaya atau rasa takut; selamat, terlindungi), namun itu sangat sulit untuk dijamin oleh kepolisian sekalipun, mengingat banyaknya faktor yang terlibat dalam memberikan keamanan.

 Faktor-faktor tersebut bisa berasal dari internal polisi maupun eksternal. Faktor internal polisi bisa berupa minimnya anggaran untuk pemeliharaan ketertiban masyarakat secara keseluruhan, kuantitas personel polisi yang belum sebanding dengan pertumbuhan masyarakat, sistem gaji yang belum memadai anggota polisi sehingga berpengaruh pada motivasi kerja, maupun berbagai penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh oknum polisi. Sedangkan faktor eksternal antara lain ketidakpedulian masyarakat untuk menjaga keamanan diri, pihak-pihak luar yang ingin ikut dalam ketertiban masyarakat namun mengacuhkan hukum, dan ketidak patuhan masyarakat akan hukum.

Karena berbagai faktor tersebut, maka peran polisi dalam menjalankan fungsi menjaga ketertiban masyarakat akhirnya menempatkan dirinya sebatas penjaga status-quo (Rahardjo 2007: 31). Dalam artian, polisi tidak memiliki pilihan lain selain menerima laporan dan menyikapi laporan dengan tindakan atau prosedur yang telah ditetapkan. Kalau laporan tersebut sudah ditindaklanjuti, maka selesailah sudah pelayanan polisi terhadap masyarakat. Padahal esensi dari menjaga ketertiban adalah bagaimana polisi tersebut dapat mencegah kejahatan agar ekses yang telah ditimbulkan akibat proses kejahatan itu tidak terjadi pada masyarakat yang belum mengalaminya.  Dengan demikian paradigma baru Polri membawa implikasi bagi manajemen dan struktur organisasi, dimana harus menyelaraskan diri antara peran sebagai “penegak hukum” (law enforcement) dan “pencegahan dan pemecahan masalah sosial” (prevention and solution of social problem) untuk meningkatkan keamanan dalam masyarakat (Reksodiputro 2006: 7). Dan pada akhirnya, Polri kemudian melanjutkan upayanya untuk merubah corak kepolisian yang otoriter, menjadi pemberdayaan (empowering) masyarakat dengan keyakinan bahwa melalui kerjasama polisi dan masyarakat dapat dicapai “quality of life” dari masyarakat. Peranan petugas Polmas sama dengan peranan seorang ahli sosial, sebagai fasilitator dan katalis dari kegiatan pemecahan masalah. Melalui edukasi diri dan edukasi warga, petugas berperan sebagai expert dan pendidik peran tanpa memaksakan peran tersebut. Dengan korabolasi ini, diharapkan dapat mencegah terjadinya permasalahan kejahatan, rasa tidak aman, dan kerusuhan (Djamin dalam Suparlan 2004: 92).

Tuntutan perubahan paradigma Polri ini pada kenyataanya sangat selaras dengan perkembangan masyarakat Indonesia baik secara sosiologis maupun psikologis. Perkembangan jaman dengan ditandai dengan semakin canggihnya teknologi telah membawa dampak yang cukup besar pula pada perkembangan kejahatan yang ada. Bentuk-bentuk penyidikan dengan kekerasan dan mengejar pengakuan sudah tidak mungkin lagi untuk dilaksanakan. Kondisi ini berganti dengan pola penyidikan dengan mengedepankan pembuktian dan dikerjakan secara profesional dan transparan. Anggapan masyarakat terhadap sosok Polisi Indonesia yang selalu minta dilayani dan berperilaku menyimpang telah memberikan sebuah pandangan yang buruk terhadap citra institusi Kepolisian secara keseluruhan. Situasi ini berdampak dengan semakin melemahnya tingkat kepercayaan masyarakat kepada BRIMOB aparat penegak Hukum di Indonesia. Keadaan ini tentu saja tidak bisa dibiarkan begitu saja, BRIMOB harus senantiasa siap untuk melayani masyarakat dengan tetap menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Salah satu model pendekatan BRIMOB yang saat ini dikedepankan oleh Polri guna mewujudkan tuntutan perubahan tersebut adalah dengan metode pendekatan Polmas. Polmas adalah model penyelenggaraan fungsi kepolisian yang menekankan pendekatan kemanusian sebagai perwujudan dari kepolisian sipil. Polmas merupakan filosofi, kebijakan dan strategi organisasi yang mendorong terciptanya suatu kemitraan baru antara masyarakat dengan polisi. Dalam Polmas, Polisi dan Masyarakat bekerja sama sebagai mitra untuk mengidentifikasi, menentukan skala prioritas dan memecahkan masalah-masalah yang muncul di tengah masyarakat, seperti ketakutan akan tindak kejahatan, ketidaktertiban fisik dan persoalan masyarakat secara keseluruhan dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat di wilayah di mana Polmas berada.Melalui pelaksanaan Polmas ini, diharapkan akan terciptanya hubungan kerjasama patnership diantara BRIMOB dan masyarakat dengan tidak menjadikan masyarakat sebagai objek semata namun juga sebagai subjek dalam menjaga kamtibmas. Secara garis besar, Polmas bisa merupakan suatu strategi dan juga merupakan suatu pencegahan. Sebagai strategi, Polmas merupakan model Perpolisian yang menekankan kemitraan yang sejajar antara petugas Polmas dengan masyarakat lokal dalam menyelesaikan dan mengatasi setiap permasalahan sosial yang mengancam kamtibmas serta ketentraman kehidupan masyarakat setempat dengan tujuan untuk mengurangi kejahatan dan rasa ketakutan akan kejahatan serta meningkatkan kualitas hidup warga setempat.

Di Indonesia, pelaksanaan Polmas secara Preventif diawali dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia  No. Pol. : Skep/737/X/2005 tanggal 13 Oktober 2005 tentang Kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.  Surat keputusan tersebut dikeluarkan dengan makasud untuk secara berjenjang dan bertahap masing-masing tingkat satuan kerja di daerah melakukan persiapan untuk pembentukan struktur pemolisian masyarakat. Implementasi terhadap program Polmas sebagaimana dimaksud dalam Skep 737 tersebut ditandai dengan pembentukan suatu forum yang dikenal dengan istilah Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM) diseluruh Indonesia. Berselang beberapa tahun kemudian Polri mengeluarkan Peraturan Kapolri Nomor 7 tahun 2008 tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. Perkap ini sendiri bertujuan sebagai bentuk akselerasi Polmas termasuk diantaranya dengan memperkuat kemitraan antara BRIMOB dan Masyarakat. Sistem Polmas di Indonesia memang terbilang berbeda dengan penerapan community policing dinegara-negara lain, hal ini disebabkan adanya penguatan atas kearifan lokal yang dikedepankan dan dijunjung tinggi pada penerapannya di Indonesia. Kondisi ini disebabkan adanya kemajemukan atau heterogenitas masyarakat yang ada diberbagai belahan daerah diseluruh Indonesia.

Dalam pelaksanaan tugas BRIMOB melalui pendekatan Polmas ini, Brimob bekerja sama dengan pihak pemerintahan. Perpolisian masyarakat (polmas) adalah strategi operasional. Polmas merupakan suatu pendekatan perpolisian modern. Polmas menciptakan hubungan yang sempurna antara Brimob dan masyarakat yang didasari rasa saling menghormati dan saling mempercayai sehingga terbangun kemitraan. Namun, dalam pelaksanaannya masih ditemui pelanggaran-pelanggaran atas HAM.

Polmas berupaya menciptakan hubungan yang baik dengan masyarakat atas dasar rasa saling mempercayai dengan menyediakan pelayanan kepada masyarakat melalui pencegahan dan penindakan kejahatan. Hal ini merupakan aspek penting polmas dan berlaku bagi semua anggota Brimob dan Polri, mulai dari bintara sampai kapolri, untuk semua fungsi Brimob, Polisi Umum (Polantas, Reskrim, Sabhara, Intelkam, maupun Binmas) dan fungsi lainnya, seperti, Polair, Ditnarkoba, dan sebagainya. Manfaat polmas bagi masyarakat ialah mengurangi kejahatan dengan cara memecahkan masalah-masalah sosial yang sering memicu kejahatan. "Polmas adalah bentuk pemecahan kejahatan yang efektif, falsafah polmas mendasari pemahaman bahwa penyelenggaraan keamanan tidak akan berhasil baik bila hanya ditumpukan pada keaktifan petugas polisi. Namun, harus lebih bertumpu pada kemitraan polisi dan masyarakat yang bersama-sama aktif mengatasi permasalahan di lingkungan. Bentuk kerjasama tersebut diantaranya adalah implementasi polmas di wilayah hukum BRIMOB Polda Lampung akan tercipta suatu komunikasi timbal balik antara masyarakat dan Anggota Brimob sehingga tercipta hubungan yang erat dan saling membutuhkan sehingga masyarakat mempunyai akses dalam memberikan saran maupun informasi yang berguna bagi arah pelaksanaan tugas, warga masyarakat menilai perlunya keberadaan Polmas dimana diharapkan tingkat kejahatan dapat dicegah dan menurun. Namun demikian, pada pelaksanaannya Polmas ini bukan semata diperuntukan guna mencegah terjadinya kejahatan semata, akan tetapi juga melaksanakan kegiatan Kepolisian pada umumnya serta menjadi sebuah bentuk konkret bagi terciptanya kerja sama dan kemitraan diantara Polisi dan masyarakat setempat dalam sebuah wadah pendekatan Polmas.

Brimob juga harus mampu membangun interaksi sosial yang erat dengan masyarakat, sehingga keberadaaanya harus menjadi simbol persahabatan antara warga masyarakat dengan polisi. Keberadaan BRIMOB harus mampu menghadirkan rasa aman di tengah-tengah masyarakat sekaligus mampu mengedepankan tindakan pencegahan kejahatan (crime prevention).

Perpolisian masyarakat merupakan upaya sinergis dari institusi kepolisian dan masyarakat untuk bekerjasama membangun mekanisme, pola, strategi hingga komunikasi dua arah, dalam mewujudkan keamanan lingkungan. Dalam Polmas, masyarakat tidak lagi ditempatkan sekedar obyek yang harus dilindungi oleh Brimob, namun masyarakat bersama-sama dengan Brimob menjadi subyek partisipatif untuk menegakkan prinsip keamanan lingkungan. Untuk mencapai harapan tersebut Brimob berupaya menciptakan kondisi masyarakat yang sadar Kamtibmas sehingga masyarakat sendiri yang memiliki daya tangkal, daya cegah dan partisipasi terhadap diri dan lingkungannya terhadap setiap ancaman Kamtibmas. Pemolisian masyarakat hanya dapat diterapkan secara efektif apabila adanyadukungan maksimal dari berbagai pemangku kepentingan (stakeholders)

Baik dari dalam institusi kepolisian sendiri maupun diluar institusi kepolisian. Akhirnya, agar masyarakat madani (Civil Society), sebagaimana yang dicita-citakan dapat terwujud maka perlu dibangun konsep pengelolaan negara yang berorientasi pada kepentingan masyarakat, salah satunya melalui penerapan konsep Perpolisian Masyarakat (Community Policing).


II. TINJAUAN PUSTAKA

  

A.  Tinjauan Hukum secara Preventif 

Pelaksanaan Polmas secara Preventif diawali dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia  No. Pol : Skep/737/X/2005 tanggal 13 Oktober 2005 tentang Kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.  Surat keputusan tersebut dikeluarkan dengan makasud untuk secara berjenjang dan bertahap masing-masing tingkat satuan kerja di daerah melakukan persiapan untuk pembentukan struktur pemolisian masyarakat.

Implementasi terhadap program Polmas sebagaimana dimaksud dalam Skep 737 tersebut ditandai dengan pembentukan suatu forum yang dikenal dengan istilah Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM) diseluruh Indonesia. Berselang beberapa tahun kemudian Polri mengeluarkan Peraturan Kapolri Nomor 7 tahun 2008 tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. Perkap ini sendiri bertujuan sebagai bentuk akselerasi Polmas termasuk diantaranya dengan memperkuat kemitraan antara Polisi dan Masyarakat. Sistem Polmas di Indonesia memang terbilang berbeda dengan penerapan community policing dinegara-negara lain, hal ini disebabkan adanya penguatan atas kearifan lokal yang dikedepankan dan dijunjung tinggi pada penerapannya di Indonesia. Kondisi ini disebabkan adanya kemajemukan atau heterogenitas masyarakat yang ada diberbagai belahan daerah diseluruh Indonesia.

Dalam pelaksanaan tugas BRIMOB melalui pendekatan Polmas ini, POLRI bekerja sama dengan pihak pemerintahan. Perpolisian masyarakat (polmas) adalah strategi operasional. Polmas merupakan suatu pendekatan perpolisian modern. Polmas menciptakan hubungan yang sempurna antara BRIMOB dan masyarakat yang didasari rasa saling menghormati dan saling mempercayai sehingga terbangun kemitraan. Namun, dalam pelaksanaannya masih ditemui pelanggaran-pelanggaran atas HAM.

polmas berupaya menciptakan hubungan yang baik dengan masyarakat atas dasar rasa saling mempercayai dengan menyediakan pelayanan kepada masyarakat melalui pencegahan dan penindakan kejahatan. Hal ini merupakan aspek penting polmas dan berlaku bagi semua anggota BRIMOB dan Polri, mulai dari bintara sampai kapolri, untuk semua fungsi BRIMOB, Polisi Umum (Polantas, Reskrim, Sabhara, Intelkam, maupun Binmas) dan fungsi lainnya, seperti, Polair, Ditnarkoba, dan sebagainya. Manfaat polmas bagi masyarakat ialah mengurangi kejahatan dengan cara memecahkan masalah-masalah sosial yang sering memicu kejahatan. "Polmas adalah bentuk pemecahan kejahatan yang efektif, falsafah polmas mendasari pemahaman bahwa penyelenggaraan keamanan tidak akan berhasil baik bila hanya ditumpukan pada keaktifan petugas polisi. Namun, harus lebih bertumpu pada kemitraan polisi dan masyarakat yang bersama-sama aktif mengatasi permasalahan di lingkungan. Bentuk kerjasama tersebut diantaranya adalah implementasi polmas di wilayah hukum BRIMOB Polda Lampung akan tercipta suatu komunikasi timbal balik antara masyarakat dan anggota BRIMOB sehingga tercipta hubungan yang erat dan saling membutuhkan sehingga masyarakat mempunyai akses dalam memberikan saran maupun informasi yang berguna bagi arah pelaksanaan tugas, warga masyarakat menilai perlunya keberadaan Polmas dimana diharapkan tingkat kejahatan dapat dicegah dan menurun. Namun demikian, pada pelaksanaannya Polmas ini bukan semata diperuntukan guna mencegah terjadinya kejahatan semata, akan tetapi juga melaksanakan kegiatan Kepolisian pada umumnya serta menjadi sebuah bentuk konkret bagi terciptanya kerja sama dan kemitraan diantara Polisi dan masyarakat setempat dalam sebuah wadah pendekatan Polmas. Brimob juga harus mampu membangun interaksi sosial yang erat dengan masyarakat, sehingga keberadaaanya harus menjadi simbol persahabatan antara warga masyarakat dengan polisi. Keberadaan Brimob harus mampu menghadirkan rasa aman di tengah-tengah masyarakat sekaligus mampu mengedepankan tindakan pencegahan kejahatan crime prevention.

Perpolisian masyarakat merupakan upaya sinergis dari institusi kepolisian dan masyarakat untuk bekerjasama membangun mekanisme, pola, strategi hingga komunikasi dua arah, dalam mewujudkan keamanan lingkungan. Dalam Polmas, masyarakat tidak lagi ditempatkan sekedar obyek yang harus dilindungi oleh BRIMOB, namun masyarakat bersama-sama dengan BRIMOB menjadi subyek partisipatif untuk menegakkan prinsip keamanan lingkungan. Untuk mencapai harapan tersebut BRIMOB berupaya menciptakan kondisi masyarakat yang sadar Kamtibmas sehingga masyarakat sendiri yang memiliki daya tangkal, daya cegah dan partisipasi terhadap diri dan lingkungannya terhadap setiap ancaman Kamtibmas.

 

B.  Tugas dan Wewenang POLRI

POLRI adalah aparat penegak hukum yang langsung berhadapan dengan masyarakat, yang memiliki perbedaan yang khas bidang tugasnya dibanding unsur sistem peradilan pidana lainya. Dalam hal ini, Satjipto Raharjo dan Anton Tabah (1993 : 79) menyatakan: Tidak mudah bagi kita sekarang ini untuk merumuskan secara rinci tentang apa yang dikerjakan oleh polisi. Apabila kita dengar tuntutan masyarakat, maka sepertinya polisi itu dituntut untuk menjadi orang birokrat yang berkualitas “superman”. Rintangan tugas yang membentang dari pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan otot seperti memburu dan membekuk penjahat, sampai ke penjara yang membutuhkan tidak hanya otak tapi juga hati, seperti mendamaikan perselisihan dalam rumah tangga.

Sebagai bagian dari birokrasi system peradilan pidana, polisi tidak mempunyai pilihan lain kecuali menjalankan politik yang telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai bagian birokrasi yang demikian itu, polisi juga harus bergerak pada jalur yang telah ditentukan. Tindakan polisi diikat oleh prosedur dan akhirnya ia juga harus bisa mempertanggungjawabkan tindakan-tindakan yang diambilnya sementara itu  Soerjono Soekanto (1981 : 61) mengemukakan: Petugas penegak hukum mencakup ruang lingkup yang sangat luas, oleh karena menyangkut petugas-petugas pada strata atas, menengah dan bawah. Yang jelas adalah bahwa di dalam menjalankan tugas-tugasnya, maka petugas seyogyanya harus mempunyai suatu pedoman, antara lain pengaturan tertulis yang mencakup ruang lingkup tugas-tugasnya. Mengenai pelaksanaan tugas kepolisian, Djoko Soetowo dalam Teguh Soedarsono (1989 : 79) membagi tugas kepolisian dalam tiga aspek, yaitu:

1.   Tugas penegakan hukum

2.   Tugas pengaruran dan pengawasan

3.   Tugas pembinaan/sosial.

Sehubungan dengan metode pelaksanaan, metode pelaksanaan tugas polisi seperti tersebut di atas, maka tugas polisi dapat dilaksanakan sesudah terjadinya pelanggaran atau sebelum terjadinya pelanggaran yang pertama dikenal sebagai tindakan represif dan yang kedua dikenal sebagai tindakan Preventife. (Momo Kelana,1994 : 56). Tindakan polisi represif ialah mencari keterangan, melacak, menyidik, dan menyelidikian tindak pidana yang terjadi. Tindakan ini meliputi dua hal, yaitu:

1.     Justitieel, yaitu mencari dan menyelidiki suatu tindak pidana, menangkap pelakunya guna diajukan ke pengadilan.

2. Bestuurlijk, yaitu mencari dan menyelidiki hal-hal yang langsung dapat menimbulkan tindak pidana. Adapun tindakan Preventif ialah mencegah terjadinya hal-hal yang akan mengganggu ketertiban dan keamanan masyarakat. Tindakan ini meliputi dua hal,yaitu:

1. Justitieel, yaitu mencegah secara langsung terjadinya perbuatan-perbuatan yang menimbulkan tindak pidana.

2.   Bestuurlijk atau disebut juga tindakan Preventife dapat menimbulkan tindak pidana.

Membahas tugas dan wewenang POLRI tidak terlepas dari membicarakan tentang penegakan hukum. Penegakan hukum merupakan suatu istilah yang lazim diterima sebagai penerapan undang-undang. Di dalam penegakan hukum, khususnya hukum pidana yang dilaksanakan oleh POLRI selalu berhubungan dengan persoalan keamanan dan ketertiban. Hal ini sejalan dengan tugas pokok POLRI selaku aparat penegak hukum dan Pembina kamtibmas, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 13 UU Kepolisian, yang menyatakan: Tugas pokok Kepolisian Negata Republik Indonesia adalah:

1.      Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat

2.      Menegakan hukum

3.      Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

Selanjutnya tugas pokok polisi itu dijabarkan lagi dalam Pasal 14, 15, dan 16. Pasal 14 ayat (1) menyatakan: dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 14, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas:

  1. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;
  2. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan;
  3. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;
  4. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional;
  5.  Memelihara dan menjamin keamanan umum;
  6. Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;
  7. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainya;
  8. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboraturium forensic dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;
  9. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
  10. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;
  11. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingan dalam lingkup tugas kepolisian serta;
  12. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 15, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas

1.      Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 Kepolisisan Negara Republik Indonesia secara umum berwenang:

a.       Menerima laporan dan/atau pengaduan.

b.      Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum;

c.       Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;

d.      Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;

e.       Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administrasi kepolisian;

f.       Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan;

g.      Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;

h.      Mengambil sidik jari dan identitas lainya serta memotret seseorang;

i.        Mencari keterangan dan barang bukti;

j.        Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;

k.      Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat;

l.        Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain serta kegiatan masyarakat;

m.    Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.

           

2.   Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainya berwenang :

a.       Memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainya;

b.      Menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor;

c.       Memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor;

d.      Menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;

e.       Memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan-pengawasan terhadap badan usaha dibidang jasa pengamanan;

f.       Memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam;

g.      Memberikan petunjuk, mendidik,  dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian;

h.      Melakukan kerjasama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional;

i.        Melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait;

j.        Mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian Internasional;

k.      Melakukan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup kepolisian.

 

Pasal 16, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas

a.       Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 bidang proses pidana. Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk:

b.      Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;

c.       Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;

d.      Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;

e.       Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;

f.       Melakukan pemeriksaan serta penyitaan surat;

g.      Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagaia tersangka atau saksi;

h.      Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungan dengan pemeriksaan perkara

i.        Mengadakan penghentian penyidikan

j.        Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;

k.      Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tidak pidana;

l.        Memberikan petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum;

m.    Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

 

C.  Tinjauan  Kepolisian Sipil

Paradigma Kepolisian Sipil Sebagai langkah ke depan, reformasi lembaga kepolisian yang selama ini telah digulirkan, harus senantiasa mengikuti perkembangan masyarakat dan perkembangan tugas sejalan dengan tuntutan masyarakat. Sebab, secara filosofis pemberlakuan Kode Etik Profesi Kepolisian merupakan suatu cita-cita dan keinginan untuk mewujudkan kepolisian yang bersih dan baik. Oleh karena itu, perubahan Polri secara kelembagaan maupun perilaku anggota Polri sangat diperlukan sejalan dengan paradigma kepolisian sipil. Paradigma kepolisian sipil mengandung pengertian polisi yang jauh dari karakteristik militer. Pengertian ini sesuai dengan definisi yang diangkat dalam perjanjian hukum internasional. Dalam perjanjian ini kedudukan polisi sebagai kekuatan yang tidak terlibat perang non-combatant, sementara kedudukan militer sebagai kekuatan yang didesain untuk berperang combatant. Fungsi kepolisian juga berbeda jauh dari fungsi militer. Secara tradisional, fungsi kepolisian ditujukan untuk menciptakan keamanan dalam negeri, ketertiban dalam masyarakat, pelayanan dan bantuan kepada masyarakat, penegakan hukum, dan pemolisian masyarakat community policing. Sementara itu fungsi militer berkaitan dengan perwujudan keamanan dari ancaman eksternal external threat, dan berbagai operasi perdamaian dan operasi kemanusiaan. Kualitas polisi sipil akhirnya diukur dari kemampuannya untuk mendekatkan diri kepada masyarakat dan menjauhkan diri dari karakter militer yang serba menggunakan komando.

Dalam sistem katatanegaraan dan penegakan hukum telah terjadi perubahan paradigma yang menegaskan pemisahan kelembagaan TNI dan POLRI yang termuat dalam TAP MPR No. VI/MPR/2000 dan peran TNI dan Peran POLRI yang termuat dalam TAP MPR/ No. VII/2000. Dalam kedua ketetepan tersebut antara lain dinyatakan, Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia secara kelembagaan terpisah sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing. Sebelum disahkanya Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang POLRI (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 2 dan Tambahan Negara Nomor 4168), POLRI merupakan bagian dari ABRI, sehingga status hukum anggota POLRI sama dengan status hukum anggota ABRI lainya dan tunduk pada kekuasaan peradilan militer. Dalam sistem penegakan hukum telah terjadi perubahan paradigma yang menegaskan pemisahan kelembagaan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan POLRI. Demikian pula aturan yang mengikat terhadap Tentara Nasional Indonesia diatur oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer (KUHPM), sedangkan Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Berdasarkan uraian di atas, ternyata dalam kedua ketetapan MPR di atas, tidak ada ketentuan yang menyatakan bahwa POLRI merupakan lembaga Sipil (non-militer), namun berdasarkan ketentuan yang menyatakan, “Tentara Nasional Indonesia dan POLRI merupakan lembaga yang terpisah dan Anggota POLRI tunduk pada kekuasaan peradilan umum”, maka dapat disimpulkan POLRI telah beralih menjadi lembaga sipil.

D.    Tinjauan Implementasi Polmas

Perpolisian Masyarakat di tubuh Brimob Polri sejalan dengan reformasi di tubuh Polri, Brimob Polri bertujuan terus melakukan perubahan-perubahan melalui beberapa tahapan, yakni jangka pendek, jangka sedang dan pemantapan. Perubahan-perubahan tersebut meliputi tiga aspek, yaitu aspek struktural, aspek instrumental dan aspek kultural melalui aktualisasi motto pengabdian "Jiwa Ragaku Demi Kemanusiaan". Melalui motto pengabdian ini diharapkan anggota Brimob Polri dapat memahami tugas-tugas yang diembannya serta terpatri dalam dirinya nilai-nilai kemanusiaan untuk diinternalisasikan dan diimplementasikan sebagai pedoman hidup dalam rangka pengabdiannya kepada bangsa dan negara. Oleh karenanya, dalam setiap penugasan Brimob, arahnya semata-mata untuk kepentingan masyarakat dan dapat dipertanggung jawabkan di depan hukum. Dengan demikian, diharapkan kedepan Brimob Polri lebih mendekatkan diri kepada masyarakat, lebih dipercaya serta dicintai masyarakat, mengutamakan melayani dan menolong, bukannya menjadi musuh masyarakat serta peka terhadap permasalahan-permasalahan kemasyarakatan. Perpolisian Masyarakat merupakan salah satu cara yang sedang dikembangkan Polri dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.

Perpolisian Masyarakat itu sendiri merupakan suatu model perpolisian yang menekankan kemitraan yang sejajar antara petugas Polmas dengan masyarakat dalam menyelesaikan dan mengatasi setiap permasalahan sosial yang mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat serta ketentraman kehidupan masyarakat setempat. Hal ini juga dilakukan di Korps brimob dengan melaksanakan pelatihan-pelatihan perpolisian masyarakat terhadap anggota Brimob Polri serta secara langsung menerapkannya dalam kehidupan bermasyarakat,Praktik Teknik mengenai Polmas ini dimaksudkan sampai sejauh mana pelaksanaan Polmas pada anggota Brimob Polda Lampung ini telah memenuhi standar yang ditetapkan, yaitu :

1.      Model Polmas

Berdasarkan model Polmas sebagaimana dimaksud terdapat dua jenis model Polmas,yaitu model Wilayah dan model Kawasan. Pada kenyataanya, anggota Brimob Polri merupakan wujud Polmas yang dibangun atas keinginan masyarakat, kemudian ditinjau dari sisi letaknya yakni berada pada satu lingkup daerah tempat tinggal dilingkungan Lampung. Dengan demikian, Polmas anggota Brimob Polda Lampung ini merupakan perwujudan dari model Wilayah yakni model Polmas yang mencangkup satu atau gabungan beberapa area/kawasan pemukiman (RT/RW/ Dusun/ Desa/ Kelurahan). Pembentukan Polmas model ini harus lebih didasarkan pada keinginan masyarakat sendiri, walaupun proses ini bisa saja dilatarbelakangi oleh dorongan Polisi

2.   Prinsip Operasionalisasi Polmas

3.   Transparansi dan Akuntabilitas

Operasionalisasi Polmas oleh petugas Polmas harus dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat. Pada pelaksanaannya, Polmas ini dilakukan diantara melalui pembentukan Jadwal pengiriman. Ketika terjadi sebuah permasalahan sosial, maka petugas Polmas tersebut senantiasa berusaha mengedepankan problem solving dengan tidak lupa melibatkan unsur masyarakat terkait:

1.         Partisipasi dan Kesetaraan

2.      Operasionalisasi tugas diharapkan dapat menjamin keikutsertaan warga dalam proses pengambilan keputusan. Dalam praktiknya, partisipasi dan kesetaraan ini memang sudah berjalan dengan cukup baik, diantaranya adalah melalui pelaksanaan ibadah bersama  Pada kegiatan kunjungan tersebut. Disamping itu juga, warga masyarakat juga diikutkan secara aktif dalam penjagaan kamtibmas daerah sekitar, indikator tersebut terlihat dari penyampaian dari beberapa warga yang kami temui langsung disaat kunjungan tersebut.

3.      Personalisasi

4.      Penugasan Permanen

5.      Penugasan anggota Polri sebagai anggota Polmas dilakukan untuk jangka waktu yang cukup lama sehingga diharapkan dapat membangun kemitraan yang cukup dengan masyarakat setempat. Kondisi ini sekilas terlihat cukup masuk diakal, namun perlu kiranya diperhatikan mengenai kesejahteraan anggota khususnya insentif yang diberikan kepada anggota tersebut. Dengan fakta dimana anggota tersebut tidak tinggal dilingkungan setempat dan interaksi yang dilakukan secara efektif dapat dikatakan hanya pada saat si anggota tersebut piket saja, maka harapan agar penugasan permanen ini dapat berhasil (efektif dan efisien) tentu harus dikaji ulang kembali. Karena dalam sistem pengembangan sumber daya manusia (SDM) Polri itu sendiri, terdapat unsur-unsur pengembangan SDM Polri yang terlewatkan apabila anggota ditugaskan untuk jangka waktu yang cukup lama. Situasi ini tentu saja akan berpengaruh dengan tingkat kinerja yang dihasilkan oleh petugas tersebut.

6.   Kepuasan Pelanggan

7.   Parameter ini dilakukan untuk melihat sampai sejauh mana kepuasan masyarakat Lampung tersebut terhadap kinerja dan pelayanan yang diberikan oleh para petugas Polmas. Hal ini dapat dikategorikan sebagai salah satu parameter yang menyatakan bahwa masyarakat cukup puas dengan keberadaan Pospol dan pelayanan dari petugas.

8.   Kepuasan Staf

9.   Alur dan Beban Pelanggan

10. Dalam hal ini harus dilihat apakah Polmas Polri telah berfungsi dengan baik secara efektif dan efisien. Untuk melihat indikator alur dan beban pelanggan dimana Polmas berjalan dengan efektif dan efisien, kami mengacu tentang pra-syarat keberhasilan Polmas. Secara umum, perubahan pola pikir dari petugas mengenai keberadaan masyarakat yang tidak hanya menjadi objek melainkan juga sebagai subjek dalam menjaga kamtibmas, sudah tercipta.

11. Interaksi Pelanggan dan Staf

12. Secara keseluruhan , interaksi antara masyarakat dengan para petugas Polmas ini berjalan cukup baik. adanya interaksi yang hangat diantara warga dan petugas Polmas, tetapi dengan melihat situasi dimana anggota setelah lepas piket kembali kerumahnya masing-masing, dimana rata-rata tempat tinggal anggota tersebut jauh dari posisi lokasi Polmas maka dapat di simpulkan bahwa interkasi yang terjadi tidaklah maksimal. Jika kita bandingkan pola interaksi yang tercipta diantara petugas Polmas yang tinggal diwilayah sekitar dengan yang tidak maka tentu saja akan lebih optimal manakala petugas tersebut tinggal diwilayah sekitaran Polmas. Hal ini didasarkan atas pemikiran bahwa pemilihan petugas Polmas harus didasarkan pada latarbelakang anggota serta kemampuan personel tersebut. Kemampuan serta latar belakang tersebut tidak dapat dipungkiri akan berpengaruh terhadap kinerja dari masing-masing anggota Polmas tersebut pada saat memberikan pelayanan kepada masyarakat.

13. Pencatatan dan Pelaporan Data

14. Indikator pencatatan dan pelaporan data ini dilihat dari sistem database yang dimilliki oleh Polmas.

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mukaddimah Ilmu Sosial

PERKEMBANGAN DAN RUANG LINGKUP SOSIOLOGI

Sosiologi merupakan ilmu yang muncul jauh setelah kehadiran ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Meskipun pertanyaan mengenai perubahan d...

Postingan Populer